Pelitakota.id Di tengah hiruk pikuk dunia yang serba materialistis, pernahkah kita merenungkan kembali makna sejati dari kemanusiaan? Charlie Chaplin, sang maestro komedi, mewariskan sebuah kisah yang tak lekang oleh waktu, sebuah potret tentang cinta kasih yang mampu menembus batas ruang dan logika.
Kisah tentang ayahnya yang rela mengorbankan kesenangan pribadi demi membantu keluarga yang kesulitan membeli tiket sirkus adalah tamparan keras bagi egoisme kita. Ayahnya, dengan kecerdasan emosional yang luar biasa, memberikan uangnya tanpa pamrih, menciptakan momen kebahagiaan yang lebih berharga dari sekadar tontonan sirkus. Hal ini selaras dengan peribahasa Jawa, “Sepi ing pamrih, rame ing gawe,” yang berarti melakukan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan, tetapi fokus pada tindakan nyata. Seperti yang tertulis dalam Alkitab, “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.” (Galatia 6:9)
Artikel ini bukan sekadar cerita inspiratif, melainkan ajakan untuk melakukan introspeksi diri. Cinta kasih bukanlah sekadar kata-kata manis atau janji-janji palsu, melainkan tindakan nyata yang mampu mengubah hidup seseorang. Ia adalah bahasa universal yang mampu menyentuh hati mereka yang terpinggirkan, didengar oleh mereka yang terabaikan, dan menjadi kekuatan bagi mereka yang kehilangan harapan. Seperti “Hadé gogog hadé tagog,” (Baik perkataan, baik pula perbuatan), peribahasa Sunda mengingatkan kita bahwa perkataan harus selaras dengan tindakan. “Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.” (Yakobus 2:17)
Filosofi hidup yang terkandung dalam kisah Chaplin sangatlah relevan dengan realitas saat ini. Kita seringkali terjebak dalam rutinitas yang membosankan, melupakan esensi dari kemanusiaan. Padahal, kebahagiaan sejati terletak pada kemampuan kita untuk berbagi, memberi, dan mencintai tanpa syarat. “Memayu hayuning bawana,” (Memelihara keselamatan dunia), peribahasa Jawa ini mengajak kita untuk berkontribusi positif bagi lingkungan dan masyarakat. “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.” (Lukas 6:36)
Mari kita belajar dari Chaplin untuk menjadi agen perubahan di lingkungan sekitar kita. Berikan senyuman tulus kepada orang asing, ulurkan tangan kepada mereka yang membutuhkan, dan dengarkan dengan penuh perhatian keluh kesah teman. Setiap tindakan kecil yang dilandasi cinta kasih akan menciptakan efek domino yang positif, mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik. “Sacangreud pageuh, sagolek pangkek,” (Sesuatu yang dipegang teguh akan memberikan hasil yang baik), peribahasa Sunda ini menekankan pentingnya konsistensi dalam berbuat kebaikan. “Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.” (Kisah Para Rasul 20:35)
Selamat pagi! Mari kita mulai hari ini dengan membuka mata hati dan menebarkan cinta kasih di setiap langkah kita. Jadilah manusia yang seutuhnya, bukan sekadar makhluk konsumtif yang hanya memikirkan diri sendiri. Sentuhan Chaplin adalah pengingat bahwa cinta kasih adalah bahasa yang lebih lantang dari kata-kata, dan ia mampu mengubah dunia menjadi lebih indah.
Oleh Kefas Hervin Devananda


