Kesetaraan dan Toleransi: ‘Kunci Sukses’ Partai Kristen dan Politik Kebangsaan yang Sehat

Spread the love

Bekasi – Bayangkan peta politik Indonesia seperti pasar yang ramai – banyak orang dengan latar belakang suku, agama, dan pandangan yang berbeda, namun untuk bisa saling berinteraksi dan bekerja sama, dibutuhkan “perekat” yang kuat. Kesetaraan dan toleransi adalah perekat tersebut! Tanpa kedua nilai ini, politik cuma akan berubah menjadi medan perselisihan yang memecah belah bangsa. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri tahun 2021 yang sesuai dengan perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS), total penduduk Indonesia mencapai 273,32 juta jiwa. Di antara mereka:

– Islam: 86,93% (sekitar 237 juta jiwa)
– Kristen Protestan: 7,47% (sekitar 20,4 juta jiwa)
– Kristen Katolik: 3,08% (sekitar 8,4 juta jiwa) – sehingga total umat Kristen mencapai 10,55% (sekitar 28,8 juta jiwa)
– Hindu: 1,71% (sekitar 4,67 juta jiwa)
– Buddha: 0,74% (sekitar 2,02 juta jiwa)
– Konghucu: 0,05% (sekitar 136 ribu jiwa)
– Agama lainnya/aliran kepercayaan: 0,03% (sekitar 82 ribu jiwa)

Jumlah tersebut menunjukkan bahwa minoritas agama bukanlah kelompok yang “sedikit” – mereka adalah bagian tak terpisah dari bangsa. Oleh karena itu, politik yang tidak memperhatikan kesetaraan dan toleransi hanya akan membuat banyak orang terpinggirkan.

Parkindo (Partai Kristen Indonesia) dan Partai Katolik dulu bukan hanya “partai agama” – mereka adalah aktor politik yang cerdas dengan memanfaatkan kesetaraan dan toleransi untuk menjangkau semua kalangan. Ada pribahasa Sunda yang sesuai: “Jang boga sareng, jang boga pigawe” (Yang punya teman, punya pekerja) – artinya, keberhasilan tidak bisa dicapai sendirian, perlu kerja sama bersama banyak pihak.

Pada Pemilu Legislatif 1955 (untuk memilih anggota DPR RI), Parkindo mendapatkan 8 kursi (1 juta suara) dan Partai Katolik mendapatkan 6 kursi (770 ribu suara) – pencapaian yang baik untuk partai baru, karena mereka tidak hanya melayani umat sendiri, tapi juga petani, buruh, dan masyarakat yang menginginkan keadilan. Bahkan pada Pemilu Konstituante (untuk menyusun UUD) bulan Desember 1955, perolehan mereka lebih banyak: Parkindo 16 kursi dan Partai Katolik 10 kursi. Mereka bahkan menjadi pendukung utama kebijakan pendidikan wajib yang sekarang telah menjadi hukum dan memastikan semua agama dihormati. Bukan kebetulan: mereka sukses karena memahami bahwa di Indonesia yang bhinneka tunggal ika, “keberhasilan politik” tidak diukur dari seberapa kuat mempertahankan identitas agama, melainkan seberapa luas nilai agama dapat diterapkan untuk kesejahteraan SEMUA ORANG.

Namun, pada tahun 1973 datang Orde Baru yang membuat nilai ini terlantar. Fusi paksa Parkindo dan Partai Katolik ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) bukan hanya kebijakan atasan – itu adalah pelanggaran implisit terhadap Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 yang menjamin hak kebebasan bergaul dan berorganisasi. Orde Baru menggunakan alasan “penyederhanaan partai” untuk mematikan identitas politik agama, meskipun tidak ada dasar hukum yang jelas untuk memaksa fusi tanpa persetujuan. Hasilnya: nilai kesetaraan dan toleransi yang dulu menjadi “suara moral” hilang selama dua dekade – bangsa terjebak dalam politik “satu suara” tanpa ruang untuk perbedaan pandangan.

Setelah reformasi, muncul Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) dan Partai Damai Sejahtera (PDS) yang berusaha membangkitkan nilai kesetaraan – dan mereka memiliki prestasi yang patut diacungi jempol:

– PDKB (didirikan 1998): Didirikan oleh tokoh kampus dengan fokus pada kasih dan keadilan. Pada pemilu pertama 1999, langsung mendapatkan 5 kursi di DPR RI (550 ribu suara) dan aktif dalam perlindungan hak warga di daerah.
– PDS (didirikan 2001): Lebih fenomenal – pada pemilu 2004 mendapatkan 13 kursi di DPR RI (2,4 juta suara), 52 kursi di DPRD provinsi, dan 329 kursi di DPRD kabupaten/kota. Bersama koalisi, mereka bahkan berhasil memastikan 63 orang juara pilkada (8 gubernur dan 55 bupati/wali kota)! Di parlemen, mereka adalah fraksi satu-satunya yang menolak Undang-Undang Pornografi dan mengubah jadwal pemilu dari hari Minggu ke Kamis – agar masyarakat yang ingin beribadah tidak kebingungan.

Pada pemilu 2009, PDS hanya mendapatkan 1,54 juta suara (1,48%) yang belum mencapai ambang batas 2,5%, sehingga tidak mendapatkan kursi sama sekali di DPR RI. Meskipun data lengkap jumlah kursi PDS di seluruh DPRD provinsi dan kabupaten/kota periode 2009-2014 tidak ditemukan, di daerah mereka masih menunjukkan keberadaan – misalnya, di Kota Bitung (Sulawesi Utara), PDS mendapatkan 3 kursi di DPRD kota periode 2009-2014. Hal ini menunjukkan bahwa PDS tetap memiliki basis pendukung di beberapa daerah tertentu.

Sayangnya, kedua partai ini masih terjebak dalam “kotak sektarian” – melupakan filosofi Sunda “Basa boga pasang, beuki boga padang” (Kata harus ada pasangan, lebih baik ada lapangan) yang artinya visi harus disertai tindakan yang menjangkau semua kalangan. Mereka terlalu fokus pada basis Kristen dan tidak mau membuka pintu untuk pemilih non-Kristen – melanggar filosofi “Jang satap, jang satap” (Yang terpisah, akan terpisah). Akhirnya, konflik internal muncul dan mereka menjadi “api sepi” yang tidak bisa menyala lagi. Bahkan lebih parah: mereka tidak pernah memaksimalkan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menjamin semua orang memiliki hak yang sama – label “partai Kristen” malah membuat masyarakat berpendapat bahwa partai itu hanya melayani umat Kristen dan tidak sesuai dengan Pancasila.

Ini adalah kesalahan fatal yang harus diperbaiki – transformasi dengan memprioritaskan kesetaraan dan toleransi bukan hanya “kunci sukses” untuk partai Kristen, melainkan juga kewajiban untuk mematuhi konstitusi dan semboyan bhinneka tunggal ika. Hal ini sejalan dengan pribahasa Sunda “Lembu pati, sapi pati, kudu aya nyawa” (Baja mati, besi mati, harus ada nyawa) – artinya, yang kaku dan tidak mau berubah akan mati, perlu ada “nyawa” berupa inovasi dan saling menghormati.

Lihat contoh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): awalnya berbasis Nahdlatul Ulama, namun bisa tumbuh besar karena menjadi partai “berjiwa Islam tapi berhati nasional” – memanfaatkan kesetaraan untuk menerapkan nilai agama tanpa menjadi sektarian. Mengapa partai Kristen tidak bisa melakukan hal yang sama?

Di era sekarang di mana masyarakat semakin jengkel dengan politik identitas yang membosankan dan kasus intoleransi yang meningkat (Lembaga Setara Indonesia mencatat 260 kasus pada 2024), partai Kristen yang mengangkat kesetaraan dan toleransi sebagai “inti hati” akan menjadi “udara segar” di Senayan. Sesuai tren politik pasca-2019, masyarakat lebih memilih partai yang fokus pada isu substantif (pendidikan, kesehatan, keadilan) daripada hanya berbicara tentang agama.

Kehadiran partai Kristen yang relevan, terbuka, dan memprioritaskan kesetaraan serta toleransi SANGAT PENTING untuk kualitas politik Indonesia. Tanpa “suara moral” yang kuat dari partai semacam itu, Indonesia berisiko terjebak dalam siklus politik yang hanya fokus pada kekuasaan dan kepentingan kelompok – bukan pada kesejahteraan dan keadilan yang menjadi hak semua orang. Jika tidak mau berubah, partai Kristen hanya akan menjadi “catatan sejarah” – dan kita semua yang merugi karena kehilangan “perekat” persatuan di politik yang seharusnya menjadi landasan bangsa.

Penulis : Alfin Situmorang

Foto : Gambar AI

Tinggalkan Balasan