Bogor,13 Desember 2025 Kita sering dikejar dengan gambaran “pemimpin sempurna” yang salah: berdiri megah di panggung, bicara dengan nada tegas, gelar bergemerlap di dada, dan kantor megah di lantai tertinggi. Tapi saya punya pendapat yang tegas – dan ada pribahasa Jawa yang pas banget: ” Jajar geni murub raksa, jajar kasep menenggelamake wong ” (Barisan obor bisa menyala logam mulia, tapi barisan orang sombong akan tenggelamkan orang lain). Ada juga ayat Alkitab yang memperkuat: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayan mu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terdahulu di antara kamu, ia harus menjadi hamba dari semua orang” (Markus 10:43-44). Dan perumpamaan yang jelas: Seperti pohon beringin yang tinggi – bukan untuk menutupi matahari dari orang lain, tapi untuk memberikan naungan sejuk dan buah lezat kepada semua yang datang. Semua ini sejalan dengan teori kepemimpinan “Servant Leadership” (Kepemimpinan Pelayan) Robert K. Greenleaf dan kalimat filsafat Aristoteles: “Kebijaksanaan adalah kebaikan hati yang memiliki pengetahuan” – bukti bahwa kepemimpinan tidak hanya tentang pengetahuan, tapi juga kebaikan. Semua ini membuktikan: semua hiasan kepemimpinan itu sia-sia – kepemimpinan yang sesungguhnya tidak ada di atas, tapi di sisi.
Untuk terlalu lama, kita menganggap kepemimpinan itu sama dengan “kekuasaan” dan “peringkat” – seperti yang diajarkan oleh teori kepemimpinan tradisional yang berfokus pada otoritas dan kontrol. Kita menghargai pemimpin yang bisa “memerintah” dan “mendapatkan hasil” – bahkan kalau itu berarti meninggalkan orang lain di belakang. Kita terpesona dengan nama besar dan kedudukan tinggi, lupa bahwa yang bikin seseorang benar-benar dihargai bukan apa yang dia punya, tapi apa yang dia berikan.
Ada lagi pribahasa Jawa yang pas: ” Sing luwih dhuwur, luwih endah ngundhung ” (Yang lebih tinggi, semakin baik menyembunyikan diri). Dari Alkitab, kita diajarkan juga: “Dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingan nya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Filipi 2:3-4). Dan perumpamaan lain yang mudah dimengerti: Seperti pemimpin kapal yang tidak berdiri di atas jangkar untuk menunjuk-nunjuk, tapi berdiri di jendela pandang untuk melihat jalan dengan jelas dan membimbing seluruh awak melewati badai aman. Ini sejalan dengan teori “Transformational Leadership” (Kepemimpinan Transformasional) dan kalimat filsafat Plato: “Pemimpin yang paling baik adalah yang paling tidak ingin memimpin” – karena keinginan tulus untuk melayani lebih kuat dari keinginan untuk berkuasa. Ini adalah kesadaran yang kita butuhkan untuk mengubah pandangan tentang kepemimpinan yang salah.
Seorang pemimpin sejati bukan orang yang selalu “di atas” – tapi orang yang mau “berdampingan”. Bukan orang yang hanya “mencari pujian” – tapi orang yang mau “membangun orang lain”. Ini adalah inti dari kepemimpinan yang benar, yang mencerminkan gabungan teori Servant Leadership dan Transformational Leadership:
– Kepemimpinan itu tentang koneksi, bukan jarak: Sejati pemimpin tidak bikin orang lain merasa jauh – mereka bikin orang lain merasa dekat, didengar, dan dihargai. Sesuai pribahasa: “Banyu dumadi tumpah, tetep ngulandhar bumi” (Air yang tumpah, tetap memberi manfaat ke bumi) – ayat Alkitab: “Gembala yang baik tidak memaksa domba-domba nya, tetapi membimbing mereka dengan sukarela” (1 Petrus 5:2)** – perumpamaan: Seperti sumber air yang jernih – tidak hanya mengalir ke tempat yang tinggi, tapi juga menyebar ke celah-celah tanah untuk menyegarkan semua tanaman di sekitarnya – dan kalimat filsafat Lao Tzu: “Pemimpin yang baik adalah orang yang, setelah pekerjaan selesai dan tujuan tercapai, orang-orang berkata: ‘Kita melakukannya sendiri'”. Ini adalah inti dari Servant Leadership yang memprioritaskan kebutuhan orang lain.
– Kepemimpinan itu tentang berbagi, bukan menyembunyikan: Sejati pemimpin tidak menangani masalah sendirian untuk meraih semua pujian – mereka berbagi tanggung jawab dan kesuksesan dengan orang di sekitarnya. Ini sejalan dengan Transformational Leadership yang membangun kepercayaan dan kerja sama tim.
– Kepemimpinan itu tentang hati, bukan atribut: Semua gelar, nama besar, dan kedudukan hilang arti kalau tidak disertai kebaikan. Kepemimpinan yang sesungguhnya ada di keinginan tulus untuk membantu – titik temu dari kedua teori yang kita bahas dan kalimat filsafat Seneca: “Kebaikan adalah kekayaan yang paling mulia”.
Saya yakin banget dengan ini ,”Kepemimpinan tidak diukur dengan seberapa tinggi kau berdiri di panggung. Tapi dengan seberapa jauh kau mau menjangkau tangan orang yang terjatuh di lantai – sesuai dengan pribahasa: Sing luwih jangkung, luwih gampang nyekel tangan wong cilik” (Yang lebih tinggi, lebih mudah menangkap tangan orang kecil), ayat: “Janganlah tinggikan dirimu sendiri, tetapi turunkanlah dirimu, dan letakkanlah dirimu di tempat yang rendah” (Ibrani 12:16), perumpamaan: Seperti tiang lampu yang tinggi – tidak untuk menonjolkan dirinya sendiri, tapi untuk menerangi jalan agar semua orang bisa berjalan dengan aman – teori Servant Leadership yang mengajarkan: pemimpin yang baik adalah yang pertama-tama menyediakan layanan bagi orang lain – dan kalimat filsafat Marcus Aurelius: “Hidupmu adalah cerminan dari pikiranmu; jika pikiranmu baik, hidupmu akan baik – dan itu adalah makna kepemimpinan yang sebenarnya”.
Nilai-nilai seperti kesederhanaan, rendah hati, dan persahabatan bukanlah kelemahan – malah, itu yang bikin seorang pemimpin benar-benar disegani dan dicintai. Orang tidak akan ingat gelarmu selamanya, tapi mereka akan ingat bagaimana kamu membuat mereka merasa. Orang tidak akan ingat kata-katamu, tapi mereka akan ingat tindakanmu.
Jadi, kalau kamu ingin menjadi pemimpin yang berarti – lupakan panggung dan gelar. Cukup buka hatimu, berdiri di sisi orang yang kamu pimpin, dan tunjukkan bahwa kamu peduli. Karena seperti yang dikatakan pribahasa: “Sejatine wong, dumadi kang mbangun, dudu kang ngrusak”* (Inti manusia adalah yang membangun, bukan yang merusak) – sesuai ayat Alkitab: “Berbuat baik kepada semua orang, terutama kepada mereka yang dalam keluarga iman” (Galatia 6:10) – perumpamaan: Seperti tukang bangun yang tidak hanya membuat rumah untuk dirinya sendiri, tapi membangun pemukiman agar semua orang punya tempat berteduh yang aman – teori Transformational Leadership yang membuktikan: pemimpin sejati adalah yang bisa mengubah hidup orang lain menjadi lebih baik – dan kalimat filsafat Confucius: “Jadilah pemimpin yang kamu ingin orang lain jadikan pemimpinmu”. Itu adalah inti dari kepemimpinan yang sebenarnya berarti.
Oleh Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)


