Kematian: Ketika Tirai Dunia Terbuka, Panggung Keabadian Dimulai

Spread the love

Pelita kota Di negeri antah berantah bernama Bumi, kita hidup dalam sandiwara absurd yang naskahnya ditulis oleh waktu. Kita tertawa, menangis, berjuang, dan bermimpi, seolah-olah panggung ini abadi. Padahal, di balik tirai kehidupan, kematian mengintai dengan senyum sinis, siap menarik kita kapan saja dari hiruk pikuk dunia. Ironisnya, kita seringkali mengabaikan kehadirannya, terlena dalam ilusi keabadian yang ditawarkan oleh gemerlap dunia. “Urip iku mung sawang sinawang,” kata pepatah Jawa, hidup ini hanyalah soal melihat dan dilihat. Kita sibuk menampilkan yang terbaik di hadapan orang lain, namun lupa untuk merenungkan hakikat diri sendiri.

Sebagai umat Kristen, kita diajarkan bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari kehidupan kekal bersama Kristus. Sebuah narasi yang indah, bukan? Namun, mari kita jujur pada diri sendiri. Apakah kita benar-benar hidup seolah-olah kita percaya akan hal itu? Atau justru kita lebih sibuk menumpuk harta, mengejar jabatan, dan memuaskan ego, seolah-olah kita akan hidup selamanya di dunia ini? “Hirup mah ulahিরেngguh saperti উদং,” kata pribahasa Sunda, hidup itu jangan sombong seperti উদং (sejenis tumbuhan air yang mengapung). Kita seringkali merasa diri paling hebat, paling pintar, dan paling benar, namun lupa bahwa kita hanyalah debu yang suatu saat akan kembali menjadi debu.

Kita hafal ayat-ayat Alkitab tentang pengharapan kebangkitan dan kehidupan kekal. Kita khotbahkan dengan lantang di gereja-gereja megah. Namun, ketika kematian datang menjemput orang-orang terdekat kita, apa yang terjadi? Kita menangis meraung-raung, seolah-olah iman kita hanyalah topeng belaka. Kita meratapi kepergian mereka, seolah-olah surga hanyalah dongeng pengantar tidur. “Sakik samo sakik, sanang samo sanang,” kata filosofi Minangkabau, sakit sama sakit, senang sama senang. Kita seharusnya saling menguatkan dan menghibur dalam menghadapi kesedihan, bukan malah larut dalam keputusasaan.

Apakah kita benar-benar percaya bahwa kematian adalah keuntungan (Filipi 1:21)? Ataukah kita hanya mengucapkan kata-kata manis untuk menghibur diri sendiri dan orang lain? Apakah kita benar-benar merindukan untuk berada bersama Tuhan (2 Korintus 5:8)? Ataukah kita lebih mencintai dunia dengan segala kenikmatannya yang fana?

Kita percaya bahwa Yesus telah mengalahkan maut melalui kebangkitan-Nya, dan Ia menjanjikan kebangkitan yang sama bagi kita (1 Korintus 15:22). Namun, mari kita renungkan dengan jujur. Apakah kita benar-benar hidup seolah-olah kita percaya akan janji itu? Ataukah kita lebih takut pada kematian daripada mengharapkan kebangkitan? “Si tou timou tumou tou,” kata filosofi Minahasa, manusia hidup untuk menghidupi orang lain. Kita seharusnya menggunakan hidup kita untuk berbuat baik dan melayani sesama, sebagai persiapan untuk kehidupan kekal.

Jika kita benar-benar percaya bahwa tubuh kita yang fana ini akan diubah menjadi tubuh yang mulia dan abadi, mengapa kita begitu terobsesi dengan penampilan fisik? Mengapa kita menghabiskan begitu banyak waktu dan uang untuk mempercantik diri, padahal kita tahu bahwa semua itu akan lenyap ditelan waktu?

Kita diajarkan untuk menghadapi kematian dengan iman dan penghiburan (1 Tesalonika 4:13). Namun, seringkali kita terjebak dalam kepalsuan. Kita berusaha menyembunyikan kesedihan kita, berpura-pura tegar, dan mengucapkan kata-kata klise yang hambar. Kita takut dianggap lemah jika kita menunjukkan emosi yang sebenarnya. “Omat ulah kamalinaan,” kata pribahasa Sunda, ingat jangan sampai terlena. Kita harus selalu waspada dan mempersiapkan diri menghadapi kematian, bukan malah terlena dalam kenikmatan dunia.

Padahal, Yesus sendiri menangis ketika Lazarus meninggal (Yohanes 11:35). Kesedihan adalah bagian alami dari proses berduka. Kita tidak perlu malu untuk menangis, untuk meratapi kehilangan kita. Namun, di tengah kesedihan itu, kita harus tetap berpegang pada iman kita, bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita.

Kita dipanggil untuk hidup bagi kemuliaan Allah (Yohanes 11:25-26). Namun, seringkali kita hidup hanya untuk diri sendiri. Kita mengejar ambisi pribadi, mengabaikan kebutuhan orang lain, dan melupakan panggilan kita untuk menjadi garam dan terang dunia (Matius 5:13-16). “Gusti ora sare,” kata pepatah Jawa, Tuhan tidak tidur. Kita harus selalu ingat bahwa segala perbuatan kita akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

Kita beribadah di gereja setiap minggu, tetapi kita tidak peduli dengan ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Kita berdoa dengan khusyuk, tetapi kita tidak berbuat apa-apa untuk membantu mereka yang menderita. Kita mengaku sebagai pengikut Kristus, tetapi kita tidak menunjukkan kasih dan belas kasihan kepada sesama.

Kematian adalah tamparan keras yang menyadarkan kita dari tidur panjang. Ia adalah pengingat bahwa hidup ini singkat dan berharga. Mari kita gunakan setiap kesempatan yang kita miliki untuk hidup bagi kemuliaan Allah, untuk mengasihi sesama, dan untuk mempersiapkan diri untuk kehidupan kekal bersama-Nya.

Semoga kita tidak menjadi orang-orang yang menyesal di akhir hayat, yang menyadari bahwa mereka telah menyia-nyiakan hidup mereka untuk hal-hal yang sia-sia. Kiranya kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, kasih Allah Bapa, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kita semua. Amin.

Oleh Kefas Hervin Devananda

Tinggalkan Balasan