Selamat pagi – mari kita bahas: apa gunanya kebenaran dan kebaikan jika hanya digunakan untuk menyalahkan orang lain, bukan untuk membimbing mereka ke jalan yang benar?
“Jangan cari kesalahan sesama hanya demi menunjukkan kebenaranmu. Tunjukkan saja bahwa kau hidup dengan benar, maka kesalahan orang akan menjadi nyata.”
Kalimat ini seperti kilatan cahaya di pagi hari – mengingatkan kita bahwa kebenaran bukan senjata untuk menyakiti, melainkan pelita untuk menerangi. Penting untuk diingat: kebenaran juga bukan untuk menghakimi atau menjustifikasi diri kita sendiri atas kesalahan orang lain. Kita sering lupa bahwa kita juga pernah salah, dan kebenaran yang kita pegang harus menjadi pedoman untuk diri sendiri terlebih dahulu, bukan alat untuk menilai orang lain.
Saya ingat kata-kata bijak Jawa: “Ojo nggoleki kesalahan wong liya, arep nggoleki kesalahan diri dhewe” (Jangan cari kesalahan orang lain, lebih baik cari kesalahan diri sendiri). Ini sejalan dengan apa yang diajarkan Firman: “Jangan hakimi, agar kamu tidak dihakimi” (Matius 7:1). Karena ketika kita hidup dengan benar, kebenaran kita akan berbicara sendiri – tanpa perlu kita suarakan dengan keras untuk menyalahkan atau menghakimi.
Seperti seorang petani di desa Sunda yang tidak pernah menyalahkan tetangganya karena sawahnya kering – dia malah menunjukkan cara menanam yang benar, sehingga tetangganya pun ikut sukses. “Baiknya nunjukkeun jalan, teu nunjukkeun kesalahan” – pribahasa Sunda ini memang mencerminkan kebijaksanaan yang dalam: kebenaran adalah untuk membimbing, bukan untuk menjustifikasi diri.
“Dengan menunjukkan kebodohan orang tidak membuatmu jadi lebih pintar.”
Berapa kali kita merasa puas ketika bisa menunjukkan bahwa orang lain salah? Padahal, itu hanyalah kesenangan sementara yang tidak membuat kita tumbuh – apalagi jika kita menggunakan itu untuk menghakimi atau menjustifikasi bahwa kita lebih baik. Firman mengajarkan kita untuk “berlaku satu sama lain dengan penuh kasih, dengan sikap rendah hati, lembut, dan sabar” (Efesus 4:2). Ini seperti yang dikatakan dalam pribahasa Jawa: “Pinter wong liya ora nggawe awakmu pinter, nanging wong pinter ngerti sinau saka wong liya” (Kecerdasan orang lain tidak membuatmu pintar, tapi orang pintar tahu belajar dari orang lain).
Di pasar tradisional Nusantara, seorang pedagang yang pintar tidak pernah menghina pedagang lain yang kurang pandai – dia malah berbagi tips menjual, sehingga semua pedagang bisa untung. “Sabar ngajarkeun, teu sabar ngucapkeun” – pribahasa Sunda ini mengingatkan bahwa lebih berharga mengajarkan daripada menyalahkan atau menghakimi, karena kebenaran yang benar tidak perlu dijustifikasi dengan kebodohan orang lain.
“Alangkah baiknya jika kebenaranmu mampu membawa mereka yang salah, ke jalan yang benar.”
Ini adalah inti dari semua – kebenaran yang sesungguhnya adalah yang mampu membangkitkan orang lain, bukan mematikan semangat mereka. Kebenaran yang digunakan untuk menghakimi atau menjustifikasi akan hanya menciptakan tembok, bukan jembatan. Firman mengatakan: “Jadi, mari kita saling menolong untuk melakukan kebaikan dan untuk melaksanakan ibadah” (Ibrani 10:24). Seperti seorang kiai di Jawa yang ketika menemukan muridnya salah, dia tidak memukul atau menghina – dia menyampaikan kebenaran dengan lembut, sehingga muridnya merasa disayangi dan mau berubah. “Kebenaran sing apik yaiku sing bisa ngrubah ati, ora sing bisa ngrusak ati” (Kebenaran yang baik adalah yang bisa mengubah hati, bukan yang bisa merusak hati) – kata-kata Jawa yang penuh makna.
Di Sumatera Barat, ada nilai “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” – yang tidak hanya mengajarkan kebenaran, tapi juga cara menyampaikannya dengan hormat tanpa menghakimi. “Kebenaran teu kudu disebarkeun ku cara kasar, tapi ku cara lembut” – pribahasa Sunda ini menunjukkan bahwa cara menyampaikan kebenaran sama pentingnya dengan kebenaran itu sendiri, terutama jika kita tidak ingin menggunakannya untuk menjustifikasi diri.
“Karena kebaikan yang tidak dibagikan bukanlah kebaikan.”
Ini adalah pesan akhir yang paling kuat. Kebaikan seperti air di sumur – jika hanya disimpan di ember, nanti akan membusuk. Begitu juga kebenaran – jika hanya digunakan untuk menghakimi atau menjustifikasi diri, ia akan hilang maknanya. Firman mengajarkan kita untuk “memberikan kepada siapa yang membutuhkan, jangan menutup hatimu dari sesamamu” (1 Yohanes 3:17). Saya ingat pribahasa Jawa: “Sedekah sing disimpen ora ana pahalanya, sedekah sing dibagikan pahalane seprapat donya” (Sedekah yang disimpan tidak ada pahalanya, sedekah yang dibagikan pahalanya seperempat dunia).
Seperti rumah gadang di Minangkabau yang selalu terbuka untuk tamu – tidak peduli siapa dan dari mana mereka berasal. “Ati manusa harus kabuka, kebaikan harus dibagikeun” – pribahasa Sunda ini mengingatkan bahwa hati kita harus selalu terbuka untuk berbagi kebaikan dan kebenaran, karena itu adalah makna sesungguhnya dari keduanya – bukan untuk menghakimi atau menjustifikasi diri kita sendiri.
Kesimpulannya, kebenaran dan kebaikan tidak ada untuk menyalahkan, menghakimi, atau menonjolkan diri. Mereka ada untuk membimbing, menginspirasi, dan membangkitkan sesama. Kebenaran yang benar adalah yang tidak perlu dijustifikasi dengan kesalahan orang lain – ia akan terlihat dari cara kita hidup. Seperti yang diajarkan Firman dan dicerminkan oleh nilai-nilai Nusantara serta pribahasa Jawa-Sunda yang mendalam – hidup yang benar adalah hidup yang mampu membawa orang lain ke jalan yang benar.
Karena, seperti yang kita baca di awal: kebaikan yang tidak dibagikan bukanlah kebaikan.
Amin. Selamat pagi, selamat beraktivitas, dan semoga kita semua bisa berbagi kebaikan dan kebenaran dengan cara yang lembut dan penuh kasih – tanpa pernah menggunakan itu untuk menghakimi atau menjustifikasi diri.
TUHAN YESUS MEMBERKATI.
Oleh Kefas Hervin Devananda


