Karangpandan: Di Balik Lensa Jurnalis, Cinta Bersemi di Tanah Kelahiran Istri

Spread the love

Oleh: Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)

Bogor – Di tengah hiruk-pikuk dunia yang tak pernah tidur, saya adalah seorang storyteller yang tak kenal lelah, senantiasa mengejar detak nadi kehidupan. Dari riuh rendah medan perang informasi hingga gemerlap panggung politik yang penuh intrik, saya telah menyaksikan dan menorehkan berbagai kisah. Namun, ada satu narasi yang selalu menghangatkan relung hati, sebuah roman abadi tentang cinta, keluarga, dan makna sejati sebuah kampung halaman. Bukan tanah tempat saya dilahirkan, melainkan permata tersembunyi yang menjadi tanah kelahiran istriku: Karangpandan. Sebuah oase di jantung Jawa Tengah yang telah mencuri sanubari dan mengubah jalan hidupku selamanya. Bersiaplah, karena ini bukan sekadar catatan perjalanan biasa. Ini adalah ekspedisi kalbu, simfoni cita rasa, dan sebuah seruan tulus untuk kembali ke akar, ke tempat di mana hati kita berlabuh.

Sebagai seorang nomad berita dan pejuang kebenaran, saya kerap merasa bagai layang-layang yang menari bebas di cakrawala. Namun, ada seutas benang tak kasat mata yang senantiasa menarikku kembali ke bumi: Karangpandan, kampung halaman istriku. Ia bukan sekadar tanah leluhur, melainkan sanctuary jiwa yang kurajut erat melalui jalinan kasih dengan belahan jiwaku. Ya, di sanalah istriku dilahirkan dan dibesarkan, mewariskan padaku keindahan yang tak terlukiskan, sebuah warisan yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari diriku. Seperti kata pepatah Jawa, “Witing tresno jalaran soko kulino,” yang berarti cinta tumbuh karena terbiasa. Dan memang benar, cintaku pada Karangpandan bersemi karena kebiasaan baik yang kutemukan di sana: keramahan warganya yang menyambut dengan senyum tulus, keindahan alamnya yang memanjakan mata dan menenangkan jiwa, dan kehangatan keluarganya yang selalu membuatku merasa seperti di rumah sendiri. Di sini, saya belajar bahwa “Adigang, adigung, adiguno” bukanlah jalan yang benar, melainkan kerendahan hati dan saling menghormati, nilai-nilai luhur yang selalu dijunjung tinggi di kampung halaman.

1759030469596

Karangpandan bukan sekadar titik koordinat di peta, melainkan melodi kenangan yang mengalun merdu, mengisi setiap sudut dan celah. Istriku, sang local muse dari dusun Geneng yang memesona, adalah kompas pribadiku, membimbingku menyingkap pesona tersembunyi di setiap jengkalnya. Bersamanya, kata “bosan” adalah anomali yang tak pernah ada dalam kamus perjalanan kami. Filosofi Jawa mengajarkan “Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hara,” yang bermakna manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan; serta memberantas angkara murka, keserakahan, dan ketidakadilan. Istriku selalu mengingatkanku untuk mempraktikkan nilai ini, menjadikan setiap langkah kami di Karangpandan sebagai upaya untuk memberikan yang terbaik bagi sesama dan alam. Kami percaya bahwa “Gusti ora sare,” Tuhan tidak tidur, dan setiap perbuatan baik akan berbuah manis, sekecil apapun itu.

Lebih dari sekadar lanskap postcard-perfect atau kesejukan udara pegunungan yang membelai, Karangpandan adalah perjamuan kuliner yang membangkitkan seluruh indera, sebuah simfoni rasa yang tak terlupakan. Inilah daftar hidangan yang selalu kurindukan, laksana kerinduan seorang anak pada ibunya, sebuah panggilan yang tak pernah bisa kutolak:

1759027649429

1. Tongseng Khas Karangpandan: Aromanya saja sudah cukup untuk menggugah selera yang paling purba, membangkitkan kenangan akan kebersamaan dan kehangatan keluarga. Kuahnya? Jangan ditanya, setiap tegukannya adalah harmoni rempah yang kaya, sebuah cita rasa otentik yang tak terlupakan, seolah membawa kita kembali ke masa kecil.
2. Soto Kare Pak Nardi: Ini bukan sekadar soto biasa, melainkan pusaka kuliner yang diwariskan turun-temurun! Dagingnya selembut sentuhan ibu, kuahnya kaya akan esensi pengalaman hidup yang mendalam, setiap suapan adalah cerita yang terukir dalam rasa.
3. Sate Pasar Karangpandan: Di sinilah keaslian rasa bersemi dalam kesederhanaan. Setiap tusuknya adalah simbol kesahajaan dan kebersamaan yang tulus, mengingatkan kita akan nilai-nilai luhur yang selalu dijunjung tinggi di kampung halaman.
4. Kupat Tahu: Tahu gorengnya renyah bagai harapan yang baru mekar, ketupatnya pulen laksana kenangan manis yang tak lekang, bumbu kacangnya… ah, sungguh nirwana yang nyata! Setiap gigitan adalah janji akan kebahagiaan yang sederhana namun bermakna.
5. Baso Tahu & Teh Senja: Sebuah paduan paripurna untuk mengakhiri hari yang penuh kesan. Sembari menikmati kehangatan baso tahu dan aroma teh yang khas, kami berbagi kisah dan merajut mimpi di bawah langit Karangpandan, langit yang selalu menyimpan sejuta kenangan.
6. Rumah Makan Mbak Ning: Kadang, kala siang menjelang, kami sering menyambangi rumah makan Mbak Ning, menikmati hidangan rumahan yang selalu berhasil mengobati kerinduan akan masakan ibu, masakan yang selalu membuat hati terasa hangat dan damai.

1759030497492

Namun, petualangan kami tak berhenti di sana. Kala senja perlahan memeluk bumi, kami kerap menyambangi Tawangmangu, mencari ilham di tengah dinginnya pegunungan yang menenangkan. Ditemani wedang jahe yang menghangatkan dan sepiring pisang goreng yang mengepul, saya menumpahkan gagasan ke layar iPad. Setiap pengalaman di Karangpandan, setiap senyum istriku, menjelma menjadi kata-kata yang menari-nari, membentuk narasi baru. Saya teringat akan wejangan “Ojo dumeh,” jangan mentang-mentang, yang mengajarkan untuk selalu rendah hati dan tidak sombong dengan apa yang kita miliki, karena semua yang kita miliki hanyalah titipan.

1759030509687

Karangpandan dan Tawangmangu bukan sekadar destinasi pelesir, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang mendalam. Di sini, saya menemukan kembali jati diri, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar yang serba menuntut. Di sini, saya bukan hanya Romo Kefas sang jurnalis, melainkan Kefas sang suami, anak, dan bagian dari keluarga besar Karangpandan yang penuh kehangatan. Seperti ungkapan Jawa, “Urip iku urup,” yang berarti hidup itu hendaknya menyala, memberikan manfaat bagi sesama. Di Karangpandan, saya belajar bagaimana menjadi “obor” kecil yang menerangi sekeliling, memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Saya selalu berusaha mengingat “Sak apik-apike wong yen awehi pitulung kanthi cara dedhemitan,” sebaik-baiknya orang adalah yang memberi pertolongan secara sembunyi-sembunyi, tanpa mengharapkan pujian, karena kebaikan sejati adalah kebaikan yang tulus dari hati.

1759030486691

Oleh karena itu, jika Anda mendamba ketenangan dari rutinitas yang melelahkan dan merindukan kehangatan kampung halaman yang otentik, datanglah ke Karangpandan. Biarkan ia memeluk Anda dengan segala keindahan dan kelezatannya. Siapa tahu, Anda akan menemukan “rumah” yang selama ini Anda cari, seperti yang telah kutemukan di tanah kelahiran istriku. Ingatlah, “Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa bandha,” berjuang tanpa membawa pasukan, menang tanpa merendahkan, sakti tanpa ilmu gaib, kaya tanpa harta. Itulah semangat yang saya temukan di Karangpandan, semangat untuk berbuat baik tanpa pamrih, semangat untuk mencintai sesama dan alam, semangat untuk selalu kembali ke akar.

Hingga jumpa di Karangpandan, di mana rindu bersemi abadi dan cinta tak pernah lekang oleh waktu!

1759030477878

Penulis adalah seorang jurnalis, aktivis, dan penggiat budaya. Dikenal dengan gaya penulisan yang lugas, mendalam, dan menggugah, ia kerap mengangkat isu-isu sosial, kemanusiaan, dan pelestarian budaya. Selain aktif di dunia jurnalistik, Romo Kefas juga terlibat dalam berbagai kegiatan sosial dan kemasyarakatan, terutama di bidang pendidikan, pemberdayaan masyarakat, dan pelestarian warisan budaya. Dedikasinya terhadap kebenaran, kemanusiaan, dan kebudayaan menjadikannya suara yang relevan di tengah masyarakat.

Tinggalkan Balasan