Kaleidoskop 2025: Jurnalis di Titik Balik – Antara Teknologi Masa Depan dan Perjuangan untuk Kebenaran

Spread the love

Bogor,27 Desember 2025 Sudah lebih dari 3 dekade saya berdiri di lapangan jurnalisme – mulai dari zaman ketik mesin di ruang redaksi yang berdebu, sampai sekarang menyaksikan layar-layar penuh konten AR yang memukau. Saya pernah berlari mengejar berita dengan sepeda motor, sekarang melihat wartawan muda menggunakan AI untuk menyusun laporan dalam sekejap. Setiap tahun, dunia ini berubah – tapi tahun 2025 adalah titik balik yang menentukan. Di sini, jurnalis berdiri di antara dua dunia: satu sisi teknologi masa depan yang menjanjikan kemudahan dan kecepatan, sisi lain perjuangan keras untuk mempertahankan kebenaran, keadilan, dan peran sebagai pengawas kekuasaan. Seperti kaleidoskop yang saya putar hari ini: setiap putaran menunjukkan pola baru – antara warna-warni kemajuan dan bayangan gelap ketidakpastian. “Jangan lihat dedegan, lihat dedegane” – pribahasa Jawa yang mengingatkan kita: jangan cuma lihat keindahan luar, tapi juga apa yang ada di dalam. Perjuangan mereka hari ini adalah perjuangan kita semua.

Tahun 2025. Kita melihat jurnalisme yang lebih canggih dari sebelumnya: laporan data yang akurat, AI yang bekerja tanpa istirahat, dan konten VR yang membawa audiens ke tengah peristiwa seolah ada di sana. Tapi kalau kita memutar kaleidoskopnya lebih dekat – wah, ada tekanan dan tantangan yang tersembunyi di balik kemajuan itu. Jurnalis berjuang untuk tetap relevan, tetap jujur, dan tetap berani – tepat di titik balik masa lalu dan masa depan.

1. AI: Mitra Masa Depan yang Berisiko Menghancurkan Perjuangan Kebenaran

Teknologi masa depan: Bayangkan tiba di kantor, dan ratusan laporan tentang hasil olahraga atau data pajak sudah siap dibuat oleh AI dengan Natural Language Generation (NLG). Ini membebaskan waktu untuk penelitian mendalam – sesuatu yang saya impikan dulu ketika harus menulis ratusan kata tentang data yang sama. AI pendeteksi hoaks juga membantu menangkal berita bohong yang menyebar seperti kebakaran, dan konten AR/VR membuat cerita lebih hidup sehingga audiens lebih mudah memahami kebenaran.

Perjuangan untuk kebenaran: Tapi ada suara yang berbisik di ruang redaksi: “Apakah nanti mesin akan menggantikan saya – dan juga nilai-nilai kebenaran yang saya pegang?” Seorang wartawan senior curhat ke saya, “Saya dulu bikin semua berita dari awal – dari wawancara sampai penulisan, semuanya dirancang untuk mencari kebenaran. Sekarang hanya bikin ‘cerita dalam’ – yang dasar dibuat oleh AI. Rasanya seperti perjuangan saya jadi lebih ringan, tapi juga lebih hampa.” Di sinilah kita ingat pribahasa Sunda: “Kayu gagang, manuk nganggo” – kayu hanya alat, yang menggunakannya adalah manuk. AI hanyalah alat – yang bertanggung jawab untuk kebenaran adalah jurnalis itu sendiri.

– UU KIP No. 11/2008 (Pasal 18): Meskipun AI bantu, jurnalis tetap bertanggung jawab atas keakuratan. Tidak ada “kambing hitam” AI – ini menegaskan bahwa perjuangan kebenaran tetap ada di tangan manusia, bukan mesin.
– Permenkominfo No. 5/2024: Media harus tanggung jawab atas konten AI. Jadi, teknologi masa depan tidak bisa menjadi alasan untuk melupakan kebenaran.

2. Algoritma: Raja Masa Depan yang Menendang Berita Kebenaran dari Permukaan

Teknologi masa depan: Algoritma platform digital adalah otak dari penyebaran informasi sekarang – mereka bisa menyebarkan berita ke jutaan orang dalam sekejap. Ini adalah kemajuan yang luar biasa untuk menjangkau audiens lebih luas.

Perjuangan untuk kebenaran: Tapi rahasia terbuka: algoritma hanya peduli dengan “engagement”, bukan kebenaran. Berita tentang skandal korupsi? “Terlalu membosankan, views sedikit.” Berita tentang selebriti? “Lebih menarik, tayang di halaman depan!” Akibatnya, banyak media terjebak dalam “perang views”: membuat clickbait, menyeleksi fakta, bahkan menutupi kasus penting. Wakil Ketua Dewan Pers, Totok Suryanto, menembak keras: “Pers dulu diancam oleh rezim. Sekarang diancam oleh algoritma masa depan yang membuat kebenaran jadi barang dagangan! Ingat berita resto di Ciliwung yang melanggar Perda Depok? Hampir tidak terlihat karena ‘tidak menarik’ buat mesin – padahal itu berita yang melindungi warga!” Pribahasa Minahasa yang cocok di sini: “Wotu wotu, ta wotu wali” – melihat tapi tidak melihat yang penting. Ini adalah bahaya yang ditimbulkan oleh algoritma yang hanya fokus pada yang menarik, bukan yang perlu diketahui.

– UU Pers No. 40/1999 (Pasal 4): Hukum mengamanatkan pers untuk mengedukasi masyarakat – bukan cuma mencari views. Ini adalah landasan perjuangan kebenaran yang melawan kekuasaan algoritma.
– Permenkominfo No. 12/2022: Platform harus memberi akses adil bagi berita. Tapi kenyataannya? Seorang redaktur daring bilang, “Platform cuma peduli engagement – kita di titik balik: mengikuti aturan mereka atau ketinggalan masa.”

3. Data Journalism: Harapan Masa Depan yang Terhambat oleh Kurangnya Kebenaran Data

Teknologi masa depan: Data journalism sekarang adalah cara kerja utama – jurnalis harus bisa scraping data, pake Python, dan bikin grafik yang mudah dimengerti. Laboratorium kolaboratif dengan fakultas Ilmu Komputer muncul di kampus, dan laporan tentang ketimpangan pendapatan atau iklim jadi hits – ini adalah jurnalisme masa depan yang lebih akurat dan objektif.

Perjuangan untuk kebenaran: Tapi masalahnya: data pemerintah seringkali rusak, tidak lengkap, atau sulit diakses. Seorang data journalist muda yang saya bimbing curhat, “Saya mau buat laporan tentang anggaran pendidikan – tapi data nya tidak ada atau salah. Bagaimana mau cari kebenaran kalo dasar data nya tidak benar?” Saya mengangguk – dan ingat pribahasa Jawa: “Gedhe-gedhe kumpul, cilik-cilik isi” – sekalipun alatnya bagus dan banyak, kalau isi nya tidak benar, hasilnya juga tidak bermanfaat. Teknologi masa depan berguna hanya jika data yang digunakan penuh kebenaran.

– UU KIP No. 11/2008 (Pasal 6): Pemerintah wajib menyediakan data secara transparan. Ketidakcukupan data ini adalah pelanggaran hukum – menghambat perjuangan kebenaran yang didukung oleh teknologi masa depan.
– Peraturan BPP No. 2/2023: Jurnalis harus bisa mengolah data, tapi tidak berarti mereka harus “mencari jarum di jerami” hanya karena pemerintah malas memberikan data yang benar.

4. Fleksibilitas Masa Depan yang Menjadi Beban untuk Perjuangan Kebenaran

Teknologi masa depan: Sekarang, jurnalis bisa kerja dari rumah, kafe, atau lapangan – fleksibilitas yang saya tidak bisa bayangkan dulu. Hp dan aplikasi memudahkan mengakses informasi dan berkomunikasi dengan sumber – ini adalah kemudahan masa depan yang membantu mencari kebenaran.

Perjuangan untuk kebenaran: Tapi ada harga: tidak ada batas antara kerja dan hidup pribadi. “Saya harus nulis artikel, bikin TikTok, kelola Instagram, dan balas komentar – semua dalam sehari,” ceritakan seorang wartawan lokal. “Hp saya selalu menyala sampai malam – saya lelah, dan kelelahan itu membuat saya sulit fokus mencari kebenaran dengan cermat.”

Survei PWI 2025 menunjukkan: 65% jurnalis mengalami stres akut – bukti bahwa fleksibilitas masa depan bisa merusak perjuangan kebenaran. Pribahasa Sunda yang cocok di sini: “Lebar tebing, sempit haté” – sekalipun ruang kerja leluasa, kalau hati dan pikiran lelah, tidak bisa menghasilkan sesuatu yang baik.

– UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 (Pasal 77): Jam kerja maksimal 40 jam seminggu. Kerja kreatif butuh istirahat untuk menghasilkan berita yang penuh kebenaran – tidak ada alasan untuk mengorbankan kesejahteraan.
– Peraturan BPP No. 3/2024: Media harus memberi dukungan kesehatan mental – karena perjuangan kebenaran butuh jurnalis yang sehat, baik fisik maupun mental.

5. Ancaman yang Semakin Besar: Titik Balik Antara Keberanian Masa Depan dan Perjuangan Kebenaran

Teknologi masa depan: Telepon genggam dan aplikasi membuat wawancara dan pengumpulan informasi lebih mudah. Tapi teknologi itu juga membuat jurnalis lebih mudah dilacak dan dikenai ancaman.

Perjuangan untuk kebenaran: Di tahun 2025, PWI mencatat 37 kasus ancaman terhadap jurnalis – 20% lebih banyak dari tahun sebelumnya. Seorang wartawan yang meneliti korupsi mengirim pesan: “Saya dapet ancaman di hp: ‘Berhenti laporan’. Saya takut, tapi saya tidak bisa berhenti – kebenaran harus keluar.” Ini adalah titik balik: apakah keberanian untuk mencari kebenaran akan menang melawan ketakutan yang dibawa oleh teknologi masa depan? Di sinilah kita ingat pribahasa Minahasa: “Tateli dohot tomohon” – berani dan tegas. Itu adalah semangat yang harus dimiliki jurnalis untuk melanjutkan perjuangan.

– UU Pers No. 40/1999 (Pasal 8): Jurnalis dilindungi dari ancaman dalam melaksanakan tugas. Penegakan hukum yang tumpul membuat perjuangan kebenaran semakin sulit.
– UU HAM No. 39/1999 (Pasal 28F): Hak atas informasi dan ekspresi adalah hak asasi – ini adalah dasar keberanian untuk mencari kebenaran di era teknologi masa depan.

Di akhir 2025, kaleidoskop jurnalisme menunjukkan pola yang kompleks – antara cahaya kemajuan teknologi masa depan dan gelap tantangan perjuangan kebenaran. Sebagai jurnalis senior yang telah menyaksikan semua perubahan, saya yakin: ini adalah titik balik yang menentukan. Teknologi bukanlah masalahnya – masalahnya adalah bagaimana kita menggunakannya untuk memajukan kebenaran. Hukum bukanlah yang kurang – yang kurang adalah penegakan yang tegas dan keberanian dari semua pihak untuk melindungi profesi ini.

Satu hal yang pasti: tanpa perlindungan hukum yang nyata dan perubahan pola pikir terhadap jurnalisme, kita semua akan kehilangan sumber informasi yang terpercaya. Dan ketika itu terjadi – yang kalah adalah masyarakat itu sendiri, dan kebenaran yang kita butuhkan semua.

Ditulis oleh: Kefas Hervin Devananda alias Romo Kefas
Jurnalis Senior, Pewarna Indonesia

Tinggalkan Balasan