Pelitakota.id Pernahkah Anda berdiri di persimpangan jalan pekerjaan? Saat seorang rekan kerja menyarankan untuk “menyembunyikan sedikit kesalahan” agar proyek selesai cepat. Atau ketika klien menawarkan bayaran tambahan jika Anda “mengurangi sedikit kualitas” agar sesuai anggaran. Atau bahkan ketika diri sendiri berbicara: “Siapa yang akan tahu kalau saya mengambil jalan pintas ini?”
Di saat itu, pilihan terasa berat. Jalan pintas terlihat mudah, cepat, dan menguntungkan. Tapi ada sesuatu di dalam hati yang berkata: “Ini bukan cara yang benar.” Itulah suara jujur – suara yang mengingatkan kita bahwa setiap pekerjaan yang kita pegang bukan hanya untuk mencari uang, tapi adalah karunia dari Tuhan yang harus kita hargai dengan cara yang mulia.
Ada pribahasa Sunda yang sangat pas untuk kondisi ini: “Laba sareng rugi, leumpang sareng lompat, teu lali jujur na bener.” (Untung dan rugi, terjatuh dan melompat, jangan lupa jujur dan benar.) Pribahasa ini mengingatkan kita bahwa meskipun kehidupan pekerjaan penuh liku-liku, jujur harus selalu menjadi landasan kita.
Bayangkan ini: Anda datang ke warung makan kesayangan, pemilik memberikan porsi lebih banyak dari yang Anda bayar – dan dia memberitahukan itu tanpa Anda tanya. Atau, seorang dokter mengatakan kenyataan tentang kondisi kesehatan Anda, meskipun itu sulit didengar. Atau, seorang pengacara yang selalu jujur bahkan ketika itu berarti kehilangan klien. Itulah momen ketika kita menyadari: jujur bukan hanya kata, tapi jiwa dari setiap profesi yang Tuhan karuniakan bagi kita.
Jujur Sebagai Dasar dari Setiap Pekerjaan
Setiap pekerjaan yang kita lakukan – entah sebagai guru, tukang, pengusaha, perawat, atau apapun – adalah karunia. Tuhan tidak memberikan kita profesi sembarangan; dia memberikan sesuai dengan kemampuan, hasrat, dan kebutuhan masyarakat. Dan di tengah semua itu, jujur menjadi pijakan yang membuat pekerjaan itu berarti.
“Berkat orang jujur memperkembangkan kota, tetapi mulut orang fasik meruntuhkannya” (Amsal 11:11). Ayat ini mengingatkan kita bahwa jujur bukan hanya kebaikan pribadi, tapi juga kekuatan yang membangun masyarakat. Tanpa jujur, seorang guru tidak akan bisa membimbing murid dengan kebenaran. Seorang tukang tidak akan menghasilkan karya yang awet. Seorang perawat tidak akan mendapatkan kepercayaan pasien.
Pribahasa Sunda lain yang menguatkan hal ini: “Jujurna murang, tapi mahal hargana.” (Jujur murah, tapi nilainya mahal.) Benar sekali – jujur tidak membutuhkan biaya apapun, tapi nilai kepercayaan yang terbentuk dari jujur harganya tak terukur. Jujur bukanlah hanya aturan etika yang harus kita patuhi, tapi juga senjata rahasia untuk membangun kepercayaan – yang akhirnya membuat kita sukses dan merasa puas dengan apa yang kita lakukan.
Jujur dalam Setiap Perkataan dan Tindakan
Jujur tidak hanya tentang tidak berdusta. Ia juga tentang berkata apa yang ada di hati dengan cara yang sopan, bertanggung jawab atas kesalahan, dan tetap konsisten antara perkataan dan tindakan.
“Jiwaku bersukaria, kalau bibirmu mengatakan yang jujur” (Amsal 23:16). Ayat ini menggambarkan betapa berharganya perkataan jujur bagi orang lain. Misalnya, seorang pengusaha yang jujur akan memberitahukan kualitas produknya dengan jujur – bahkan jika itu berarti penjualan sedikit lambat. Tetapi, seiring waktu, pelanggan akan percaya padanya dan menjadi pelanggan tetap. Atau, seorang karyawan yang jujur akan mengakui ketika dia membuat kesalahan, bukan menyalahkan orang lain. Hal ini tidak akan membuat dia kalah, melainkan membuat atasan dan rekan kerja menghargainya lebih banyak.
Dalam setiap perkataan kita di tempat kerja, jujur menjadi cermin kepribadian. “Berliku-liku jalan si penipu, tetapi orang yang jujur lurus perbuatannya” (Amsal 21:8). Seperti yang dikatakan pribahasa Sunda: “Bibirna ngeunaan hati, tanganna ngeunaan ucapan.” (Bibir sesuai hati, tangan sesuai kata.) Ini artinya, perkataan kita harus sesuai dengan perasaan yang tulus, dan tindakan kita harus sesuai dengan perkataan kita. Ketika kita berbicara jujur, kita tidak hanya melindungi diri dari masalah di masa depan, tapi juga memberi contoh bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Setiap profesi adalah karunia yang harus kita hargai. Tuhan sendiri telah mengakui bahwa keahlian dan kemampuan kerja adalah anugerah dari-Nya, seperti yang tertulis: “…dalam hati setiap oranglah telah kukerikan keahlian” (Keluaran 31:6). Dan cara terbaik untuk menghargainya adalah dengan bekerja dengan jujur.
Mari kita bayangkan perumpamaan seorang arsitek bernama Budi yang melakukan kerjasama dengan seorang klien untuk membangun rumah impian – sebuah tempat yang aman, nyaman, dan sesuai dengan harapan keluarga. Pada awalnya, klien memberitahu Budi tentang anggaran yang terbatas dan kebutuhan khusus: ruang tamu yang luas untuk menerima tamu, kamar tidur yang nyaman untuk anak-anak, dan lantai yang kokoh agar bertahan lama.
Budi tidak hanya membuat desain yang cantik di meja kerjanya – dia melakukan semuanya dengan profesionalisme penuh, mulai dari tahap perencanaan sampai penyelesaian. Yang paling mencolok adalah, dia secara proaktif mengurus semua perijinan bangunan tanpa perlu disuruh dua kali oleh klien. Dia tahu bahwa perijinan bukan hanya formalitas, tapi bagian dari integritas pekerjaan profesinya – memastikan rumah itu dibangun sesuai aturan dan aman untuk dihuni. Dia tidak pernah berpikir untuk mengambil jalan pintas dengan membangun tanpa izin, meskipun itu akan mempercepat proyek. “Integritas arsitek terlihat dari bagaimana kita menghargai aturan dan menjaga keamanan klien,” ujarnya – sejalan dengan pribahasa Sunda: “Teu ngaleupaskeun tanggung jawab, sanajan payah.” (Tidak meninggalkan tanggung jawab, meskipun sulit.)
Selama proses pembangunan, Budi selalu menghubungi klien setiap hari untuk memberitahukan perkembangan proyek – bahkan ketika ada masalah. Saat kontraktor ingin menggunakan bahan yang lebih murah tapi kualitasnya kurang, Budi langsung menolaknya dan menjelaskan kepada klien: “Ini akan membuat lantai mudah retak nanti, mas. Lebih baik kita gunakan bahan yang sedikit mahal tapi awet, agar rumah ini bisa menjadi tempat tinggal keluarga selama bertahun-tahun.” Klien menyetujui, karena dia percaya pada kejujuran Budi.
Setiap pagi, Budi pergi ke lapangan untuk memantau pekerjaan. Dia memeriksa setiap sambungan baja, setiap lapisan plester, dan setiap potongan kayu. Ketika menemukan penyimpangan – seperti dinding yang tidak lurus – dia segera memerintahkan kontraktor untuk memperbaikinya, bahkan jika itu membuat proyek sedikit tertunda. “Saya bertanggung jawab pada Anda dan pada Tuhan yang memberikan saya kemampuan ini,” ujar Budi kepada klien.
Pada akhirnya, rumah selesai tepat waktu, sesuai anggaran yang disesuaikan, DAN sudah memiliki semua perijinan yang lengkap. Klien merasa senang dan terkejut karena rumah itu lebih bagus dari yang dia bayangkan – dan dia tidak perlu repot-repot mengurus urusan administrasi apapun. Budi tidak hanya membangun rumah, tapi juga membangun kepercayaan yang kuat – dan itu membuat dia merasa puas karena telah menyembahkan pekerjaannya dengan jujur dan integritas.
Berikut adalah contoh jujur dalam berbagai profesi lainnya, yang sejalan dengan semangat perumpamaan Budi:
– Guru: Jujur dalam memberikan nilai dan umpan balik membuat murid belajar dengan benar dan tumbuh menjadi pribadi yang jujur. “Bibir orang bijak menaburkan pengetahuan, tetapi hati orang bebal tidak jujur” (Amsal 15:7).
– Dokter/Perawat: Jujur dalam memberitahukan kondisi kesehatan membuat pasien bisa mengambil keputusan yang tepat dan merasa dipercaya. “Perkataan ku keluar dari hati yang jujur, dan bibir ku menyatakan dengan terang apa yang diketahui” (Ayub 33:3).
– Tukang/Bangunin: Jujur dalam memakai bahan dan bekerja membuat karya yang awet dan memberikan kepuasan pada pelanggan. Seperti yang tercatat dalam Alkitab, orang-orang yang diberi tugas membangun rumah Tuhan “tidak mengadakan perhitungan dengan orang-orang yang diserahi uang itu untuk memberikannya kepada tukang-tukang, sebab mereka bekerja dengan jujur” (2 Raj 12:15).
– Pengusaha: Jujur dalam berbisnis membuat hubungan dengan pelanggan dan mitra menjadi kuat dan berkelanjutan. Tuhan menuntut kejujuran dalam transaksi, seperti yang tertulis: “Janganlah engkau memiliki batu timbangan yang tidak adil, baik yang lebih berat maupun yang lebih ringan, dan janganlah engkau memiliki efa yang tidak adil, baik yang lebih besar maupun yang lebih kecil. Engkau harus memiliki batu timbangan yang benar dan efa yang benar, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan kepadamu oleh Tuhan Allahmu” (Ulangan 25:13-15).
– Karyawan: Jujur dalam bekerja membuat tim lebih solid dan perusahaan lebih maju. “Dengan rela bekerja seperti kepada Tuhan dan bukan kepada manusia” (Efesus 6:7) – ayat ini mengingatkan kita bahwa setiap pekerjaan kita adalah pelayanan kepada Tuhan, sehingga harus dilakukan dengan jujur dan sepenuh hati.
Jujur mungkin tidak selalu mudah. Kadang kita dihadapkan pada pilihan: berkata yang mudah atau berkata yang benar; mengambil jalan pintas atau jalan yang jujur. Tapi ingat, setiap profesi yang Tuhan karuniakan adalah anugerah – dan anugerah itu harus dipakai dengan cara yang mulia.
“Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga” (Pengkhotbah 9:10) – dan lakukanlah semuanya dengan jujur dan integritas, seperti yang dilakukan Budi. Jujur adalah modal tersembunyi yang akan membawa kita ke keberhasilan yang sejati – keberhasilan yang tidak hanya dilihat dari uang atau jabatan, tapi juga dari rasa tenang hati, kepercayaan orang lain, dan rasa bangga atas apa yang kita lakukan.
Seperti yang ditegaskan oleh pribahasa Sunda: “Jujurna jadi paku, terusna jadi palu.” (Jujur menjadi paku, konsistensi menjadi palu.) Kedua hal itu saling melengkapi untuk membangun sesuatu yang kokoh dan tahan lama dalam pekerjaan kita.
Jadi, mari kita jujur dalam setiap pekerjaan, setiap perkataan, dan setiap langkah kita. Karena itu adalah cara terbaik untuk menghargai karunia yang Tuhan berikan dan menjadi orang yang berguna bagi sesama.
Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)


