Jeritan dari Nigeria: Saat Umat Kristen Dibantai, Indonesia Harus Bangun dari Apatisme!

Spread the love

Jakarta, 13 Oktober 2025 – Di tengah gemuruh isu politik dan ekonomi domestik, sebuah tragedi kemanusiaan yang mengerikan terus berlanjut di Nigeria. Pembantaian sistematis terhadap umat Kristen, yang seringkali luput dari perhatian media arus utama, akhirnya memicu diskusi mendalam di kalangan tokoh agama dan aktivis Indonesia. Pertanyaannya menggantung di udara: mengapa dunia, termasuk kita, seolah menutup mata terhadap genosida yang sedang berlangsung?

Dalam diskusi daring bertajuk “Pembantaian Umat Kristen di Nigeria: Siapa Peduli?” yang diselenggarakan Pewarna Indonesia bersama Simposium Setara Menata Bangsa dan Asosiasi Pendeta Indonesia (API) pada Minggu (12/10), terungkap fakta-fakta yang mencengangkan sekaligus memilukan. Acara ini bukan sekadar forum diskusi, melainkan alarm darurat bagi nurani kemanusiaan.

Nick Irwan, moderator diskusi, membuka dengan data yang tak terbantahkan dari Armed Conflict Location and Event Data Project (ACLED). “Awalnya banyak yang mengira berita ini hoaks. Namun data menunjukkan ribuan korban jiwa telah jatuh, terutama dari komunitas Kristen. Ini bukan lagi isu regional, ini adalah isu kemanusiaan global,” tegasnya. Pernyataan ini adalah tamparan keras bagi mereka yang masih meragukan skala dan urgensi krisis ini.

Partogi Samosir, mantan diplomat, mengurai akar masalah yang kompleks. “Ini bukan sekadar persoalan agama. Ketika sumber daya diperebutkan, politik ikut bermain, dan pemerintah tidak hadir, maka kekerasan akan tumbuh subur. Itulah yang kita saksikan di Nigeria,” papar Partogi. Analisis ini menyoroti bahwa konflik di Nigeria bukan hanya soal perbedaan keyakinan, melainkan juga tentang ketidakadilan ekonomi, perebutan kekuasaan, dan kegagalan negara dalam melindungi warganya.

Namun, yang paling menggugah adalah seruan Pdt. Ronny Mandang. “Kita tidak bisa diam. Gereja harus bersuara. Ini bukan semata soal iman, ini soal nyawa manusia,” serunya. Pdt. Ronny tidak hanya berbicara tentang solidaritas, tetapi juga tentang tanggung jawab moral untuk mencegah genosida. Ia menantang gereja-gereja di Indonesia untuk keluar dari zona nyaman dan menjadi garda terdepan dalam membela hak asasi manusia.

Para penanggap, Pdt. Yohanis Henock, Hasudungan Manurung, dan Prima Surbakti, membawa diskusi ini ke ranah refleksi diri. Hasudungan Manurung dengan tegas menyatakan, “Kita sering apatis terhadap tragedi di luar negeri, padahal solidaritas tidak mengenal batas negara. Gereja harus tampil sebagai suara kenabian, bukan sekadar tempat ritual. Ini saatnya kita berbicara, bukan hanya berdoa.” Pernyataan ini adalah kritik pedas terhadap kecenderungan sebagian masyarakat Indonesia yang lebih peduli pada urusan domestik daripada krisis kemanusiaan di belahan dunia lain.

Prima Surbakti mengingatkan bahwa benih-benih intoleransi dan kebencian yang sama bisa tumbuh subur di Indonesia. “Tragedi di Nigeria adalah cermin bagi kita. Jika kita tidak belajar dari sana, sejarah bisa berulang di sini. Anak muda perlu dibekali dengan empati, bukan hanya informasi,” ujar Prima. Ini adalah peringatan dini agar kita tidak terlena dengan ilusi kerukunan, tetapi terus waspada terhadap potensi konflik yang bisa merusak persatuan bangsa.

Diskusi ini bukan hanya tentang Nigeria, tetapi juga tentang Indonesia. Ini adalah panggilan untuk introspeksi, untuk menguji seberapa jauh kita telah mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita benar-benar menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab, ataukah kita hanya pandai beretorika?

Saatnya kita membuka mata, membuka hati, dan bertindak. Tragedi di Nigeria adalah ujian bagi kemanusiaan kita. Jangan biarkan jeritan saudara-saudara kita di sana tenggelam dalam kebisingan dunia. Mari kita tunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya peduli pada dirinya sendiri, tetapi juga pada nasib sesama manusia di mana pun mereka berada.

Jurnalis: Vicken Highlanders
Editor: Romo Kefas

Tinggalkan Balasan