Pelitakota id Hanya cahaya layar laptop tua yang menyinari wajahnya yang kurus. Jam 3 pagi. Udara di kamar kontrakan sempit itu dingin dan lembap. Dian, 31 tahun, menggigit ujung pena yang sudah aus, matanya menatap layar dengan pandangan yang lelah tapi tidak mau menyerah. Di depannya, naskah berita tentang pekerja harian yang terlantar setelah kecelakaan — cerita yang dia usahakan dapatkan selama tiga hari, berjalan kaki puluhan kilometer karena tidak mampu naik ojek.
“Tulis dulu, pikir nanti tentang makan,” bisiknya sendiri. Kalau tidak, portal “Suara Pelita Nusantara” yang dia dirikan sendirian tujuh tahun lalu tidak akan ada berita hari ini. Dan dia tahu, apa yang dia miliki hari ini — bahkan hanya nasi dan air — itu semua kasih karunia Tuhan.
“Saya Hanya Ingin Memberitakan Kebenaran — Tapi Kenapa Begitu Sulit, Selama Tujuh Tahun?”
Mula-mula, impiannya bersinar terang. Setelah keluar dari media besar karena menolak memutar berita sesuai keinginan pemilik, Dian memutuskan membangun media sendiri. “Aku ingin berita yang jujur, yang bicara untuk rakyat — seperti pelita yang menyinari nusantara,” katanya pada hari pertama membuka portal Suara Pelita Nusantara tujuh tahun yang lalu. Dia menggunakan tabungan semuanya — Rp3,75 juta — untuk beli domain dan sewa hosting. Laptopnya adalah yang dia gunakan sejak kuliah, sering macet saat mengedit foto, dan sudah menemani dia sepanjang perjalanan tujuh tahun ini. “Dari awal, saya tahu ini tidak mudah — tapi saya percaya, Tuhan akan beri jalan. Semua yang saya terima, itu kasih karunia-Nya,” ujarnya.
Tapi kenyataan menyambar keras, dan itu sudah berlangsung selama tujuh tahun. Setiap hari, dia harus menghubungi sumber-sumber dengan panggilan telepon yang boros biaya, karena tidak punya uang untuk pulsa banyak. Kadang-kadang, dia harus menunggu jam yang tidak pasti hanya untuk bertemu seorang sumber yang mau berbicara — karena mereka berkata, “Portalmu sudah ada tujuh tahun tapi masih tidak terkenal, apa gunanya kita berbicara?”
Terkadang, ada juga narsum yang tidak paham dengan seenaknya saja mengundangnya ke lokasi berita — tapi tidak memberikan penghargaan yang layak, bahkan tidak mau bayar ongkos perjalanan yang dia keluarkan sendiri. “Saya pernah ke acara di luar kota, diundang langsung oleh narsumnya, tapi setelah selesai meliput, dia hanya bilang ‘terima kasih ya, bu’ — tidak ada apa-apa lagi,” katanya dengan nada sedih. “Ongkos pulang saya sendiri, dan itu habiskan semua pulsa yang saya punya.”
Suatu hari, dia ingin meliput kasus korupsi di desa tetangga. Dia datang ke lokasi, tapi ditendang keluar oleh orang yang diduga terlibat. “Kamu siapa? Jangan mau sok jurnalis kecil yang portalnya tidak ada artinya!” teriak orang itu. Dian pulang dengan baju lusuh dan mata yang penuh air. Tapi malam itu, dia masih menulis beritanya di Suara Pelita Nusantara — meskipun dia tahu, setelah tujuh tahun, tidak banyak yang akan membacanya. “Saya tetap menulis karena itu tugas saya. Dan meskipun sulit, saya tahu kasih karunia Tuhan akan selalu ada,” katanya pelan.
“Gaji Bulanan Cuma Segitu? Sudah Tujuh Tahun, Masih Tidak Cukup — Hanya Kasih Karunia Tuhan yang Menopang”
Pendapatan? Hanya dari iklan yang muncul di Suara Pelita Nusantara. Beberapa bulan, dia hanya dapat Rp300.000 — kurang dari biaya sewa kamar yang Rp450.000. Sudah tujuh tahun, dia tidak pernah punya gaji tetap. Semua yang dia miliki, itu hanya kasih karunia Tuhan — entah dari teman yang tiba-tiba memberinya uang, warung yang mau kasih makan cuma-cuma, atau tetangga yang mau menunda tagihan sewa. “Saya pernah makan nasi dan sambal teri selama seminggu — itu sudah jadi hal biasa selama tujuh tahun ini. Tapi saya tidak pernah lapar sepenuhnya, karena Tuhan selalu beri yang cukup,” katanya, suara yang sedikit gemetar tapi penuh keyakinan. “Tubuh saya sering sakit, tapi saya tidak punya uang ke dokter. Saya hanya minum obat generik yang beli di warung, dan percaya pada kasih karunia Tuhan yang menyembuhkan.”
Saat orang lain makan malam dengan keluarga, Dian hanya bersahabat dengan laptop dan kopi pahit yang dia seduh sendiri. Sudah tujuh tahun, dia tidak punya waktu untuk pacaran, tidak punya waktu untuk bertemu teman. “Semua waktuku untuk Suara Pelita Nusantara — sudah tujuh tahun, saya tidak pernah merasa lelah ngomong ‘saya sibuk’,” katanya. “Kalau saya berhenti sehari, pengunjungnya akan turun, dan iklan pun akan hilang. Saya takut, setelah tujuh tahun berjuang, semuanya akan hancur. Tapi saya percaya, kasih karunia Tuhan akan tetap menopang saya dan portal ini.”
Suatu malam, dia menerima telepon dari ayahnya di kampung. “Anak, portalmu sudah ada tujuh tahun ya? Kapan kamu pulang? Ayah dan ibu rindu. Kerja di kota itu susah banget selama ini?” Tangan Dian terasa dingin. Dia tidak berani berkata, dia masih kesulitan setelah tujuh tahun. Dia hanya jawab, “Nanti saja, Ayah. Saya masih sibuk kerja untuk portalnya, dan Tuhan selalu beri yang cukup.” Setelah telepon terputus, air matanya mengalir ke pipinya. Dia menutup wajah dengan kedua tangan, menangis dengan sepi — takut tetangga mendengar, dan sudah tujuh tahun, dia masih malu dengan kondisinya. Tapi di hatinya, ada rasa syukur: “Terima kasih, Tuhan, karena masih memberi saya kekuatan untuk bertahan.”
“Terlupakan, Dihina, Tapi Masih Berjuang Setelah Tujuh Tahun — Didukung Kasih Karunia Tuhan”
Yang paling menyakitkan bukanlah kesulitan materi — tapi rasa terlupakan yang sudah dia rasakan selama tujuh tahun. Dia tidak diundang ke acara pers, tidak punya akses ke tokoh penting. Beberapa kali, dia mengirimkan berita dari Suara Pelita Nusantara ke media besar, tapi tidak pernah diterima. “Mereka bilang, beritaku tidak menarik — padahal, sudah tujuh tahun saya menulis cerita tentang rakyat yang sesungguhnya menderita,” katanya.
Kadang-kadang, narsum yang mengundangnya itu bahkan tidak tahu nama portalnya, hanya menganggap dia sebagai “jurnalis abal-abal” yang bisa dipanggil kapan saja tanpa tanggung jawab. “Saya pernah dihubungi jam 12 malam untuk datang ke lokasi kecelakaan, saya pergi dengan berjalan kaki karena tidak ada ojek, tapi setelah sampai, narsumnya malah bertanya ‘kamu dari mana ya?’ — seolah-olah dia lupa sudah mengundang saya,” katanya. Tanpa penghargaan, tanpa ongkos, dia hanya bisa pulang dengan kaki yang pegal dan hati yang lelah.
Ada saatnya dia melihat postingan di media sosial, orang-orang membicarakan jurnalis terkenal yang mendapatkan penghargaan setelah hanya beberapa tahun bekerja. Dia merasa cemburu, tapi juga sedih. “Mengapa mereka bisa mendapatkan pengakuan dalam waktu singkat, sedangkan saya hanya bekerja sendirian di kamar ini untuk Suara Pelita Nusantara — sudah tujuh tahun?” bisiknya. Tapi kemudian, dia melihat pesan dari seorang pembaca di luar kota: “Bu Dian, beritamu di Suara Pelita Nusantara tentang pekerja harian itu sangat menyentuh hati saya. Saya sudah ikut berdonasi. Terima kasih sudah tetap memberitakan cerita seperti ini selama tujuh tahun.” Pada saat itu, dia menyadari: itu adalah bentuk kasih karunia Tuhan yang datang melalui orang lain. “Saya tidak perlu penghargaan besar,” katanya. “Cukup dengan tahu, ada orang yang mendengar suara yang saya sampaikan — itu sudah cukup, itu kasih karunia Tuhan yang paling berharga.”
“Laptop Tua Ini Masih Berjalan — Seperti Saya, Setelah Tujuh Tahun, Didukung Kasih Karunia Tuhan”
Di tengah malam yang sunyi, Dian masih duduk di depan laptopnya. Dia menyunting berita yang sudah dia tulis, mengedit foto yang diambil dengan kamera sederhana untuk Suara Pelita Nusantara. Laptopnya kadang macet, tapi dia masih mencoba memperbaikinya — sudah tujuh tahun, dia tidak mau menggantinya karena tidak punya uang. “Laptop ini seperti saya, dan seperti portal saya,” katanya dengan senyum yang sepi tapi penuh syukur. “Sudah tua, sudah melewati banyak hal, tapi masih berjalan. Masih berjuang untuk menyinari, setelah tujuh tahun — semua berkat kasih karunia Tuhan.”
Dia tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah Suara Pelita Nusantara akan berkembang setelah tujuh tahun ini, atau akan mati? Apakah dia akan tetap kesulitan, atau akan menemukan cara keluar? Tapi yang dia tahu, dia tidak akan berhenti. “Saya mencintai pekerjaan ini,” katanya. “Saya mencintai kebenaran. Bahkan kalau saya harus hidup sendirian, kalau saya harus menderita — sudah tujuh tahun, dan saya akan tetap berjuang untuk Suara Pelita Nusantara, karena saya percaya pada kasih karunia Tuhan yang tidak pernah habis.”
Cahaya layar laptop masih menyinari wajahnya. Jam 4 pagi. Dia mengambil pena yang sudah aus, mulai menulis berita baru yang akan terbit di Suara Pelita Nusantara. Meskipun hatinya terasa sakit, meskipun dia tahu, jalan yang dia pilih sangat sulit — sudah tujuh tahun, dia tetap melangkah. Karena dia tahu, di tengah kekosongan dan kesulitan yang sudah dia jalani selama bertahun-tahun, ada sesuatu yang lebih penting: suara yang harus terdengar, pelita yang harus tetap menyala, dan kasih karunia Tuhan yang selalu menopang.
Catatan: Cerita ini diinspirasi oleh pengalaman nyata banyak jurnalis online mandiri di Indonesia, dengan detail tertentu disesuaikan untuk menghormati privasi mereka. Setiap kepiluan dan emosi yang digambarkan mencerminkan realitas yang mereka alami setiap hari, di balik layar layar yang kita lihat.


