Bogor – Pemandangan seorang pejabat publik yang baru saja dilantik, namun sudah terjerat kasus korupsi, adalah tragedi yang tak hanya memilukan, tetapi juga menjijikkan dan memuakkan. Seharusnya, amanah yang diemban menjadi panggilan luhur untuk melayani dan menyejahterakan rakyat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: kekuasaan disalahgunakan secara brutal dan tanpa ampun untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, dan kroni.
Baru-baru ini, kita kembali dikejutkan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menjerat Gubernur Riau, Abdul Wahid. Belum genap setahun menduduki kursi empuk kekuasaan, ia sudah harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan suap proyek infrastruktur. Bersama sembilan orang lainnya, termasuk pejabat daerah dan pihak swasta, Abdul Wahid diamankan beserta sejumlah barang bukti berupa uang tunai yang diduga hasil perampokan dan penjarahan uang rakyat.
Ironisnya, kasus Abdul Wahid bukanlah anomali, melainkan representasi dari sistem politik transaksional yang telah lama membusukkan dan menghancurkan bangsa ini. OTT KPK seolah menjadi tontonan rutin yang menjerat berbagai pejabat, dari tingkat daerah hingga pusat. Sebut saja, Immanuel Ebenezer alias Noel, Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), yang ditangkap KPK pada Agustus 2025 atas dugaan pemerasan terkait pengurusan sertifikasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Dalam operasi tersebut, penyidik menyita uang tunai, puluhan mobil mewah, hingga sebuah motor Ducati. Noel, yang dikenal sebagai mantan ketua relawan Jokowi Mania (Joman) dan kemudian beralih mendukung Prabowo Subianto, kini harus mempertanggungjawabkan kejahatannya di hadapan hukum.
Namun, jangan salah paham. Menangkap satu-dua koruptor bukanlah solusi. Kita tidak bisa hanya berpuas diri dengan tepuk tangan setiap kali KPK berhasil menjaring pelaku korupsi. Sebab, korupsi bukanlah sekadar masalah individu, melainkan masalah sistemik yang berakar kuat dalam budaya politik kita yang bobrok dan busuk.
Mengapa korupsi terus terjadi? Jawabannya sederhana: karena sistem politik kita terlalu mahal dan terlalu permisif terhadap praktik transaksional yang kotor dan menjijikkan. Calon pejabat harus mengeluarkan dana besar untuk kampanye, membayar tim sukses, dan melakukan berbagai praktik “serangan fajar” untuk memenangkan hati pemilih. Akibatnya, ketika terpilih, mereka merasa perlu untuk “balik modal” atau bahkan mencari keuntungan lebih besar, demi persiapan untuk pemilihan berikutnya.
Inilah akar masalahnya: politik uang yang haram dan terkutuk. Politik yang seharusnya menjadi arena pengabdian dan perjuangan ide, telah berubah menjadi ajang transaksi jual beli kekuasaan yang keji dan memalukan. Uang menjadi segalanya, ideologi dan moralitas menjadi barang langka yang dibuang dan diinjak-injak.
Lalu, apa yang harus kita lakukan? Pertama, kita harus mereformasi sistem pendanaan politik secara radikal dan tanpa kompromi. Pemerintah perlu mengatur secara ketat sumbangan kampanye, membatasi pengeluaran, dan meningkatkan transparansi. Dana kampanye harus diaudit secara independen, dan pelanggaran harus ditindak tegas dengan hukuman yang seberat-beratnya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 326 dan 327, harus ditegakkan secara konsisten dan tanpa pandang bulu untuk memastikan tidak ada lagi praktik politik uang yang merusak demokrasi kita.
Kedua, kita harus meningkatkan gaji dan kesejahteraan pejabat publik secara proporsional dan berkeadilan. Gaji yang layak akan mengurangi godaan untuk korupsi, karena pejabat sudah merasa cukup dengan penghasilan yang sah. Namun, peningkatan gaji harus diimbangi dengan peningkatan kinerja dan akuntabilitas yang ketat dan transparan. Jangan sampai, kenaikan gaji justru menjadi pembenaran untuk korupsi yang lebih besar dan lebih mengerikan.
Ketiga, kita harus memperkuat lembaga pengawas secara independen dan profesional, bebas dari intervensi politik dan kepentingan pribadi. KPK, kepolisian, dan kejaksaan harus bekerja sama secara efektif untuk mencegah dan memberantas korupsi. OTT yang dilakukan KPK terhadap Gubernur Riau dan pejabat lainnya adalah bukti bahwa lembaga ini masih relevan, namun juga menjadi alarm bahwa masalah korupsi sudah sangat mengkhawatirkan dan mencemaskan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 19, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2019, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) harus ditegakkan dengan tegas dan tanpa ampun.
Keempat, kita harus meningkatkan partisipasi masyarakat secara aktif dan kritis, tanpa rasa takut dan gentar. Masyarakat sipil, media, dan lembaga swadaya masyarakat harus mengawasi kinerja pemerintah dan melaporkan praktik korupsi. Whistleblower harus dilindungi dan dihargai, bahkan diberi penghargaan yang setimpal. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban harus diimplementasikan secara efektif dan tanpa diskriminasi untuk memastikan keberanian masyarakat dalam melaporkan korupsi tidak sia-sia.
Kelima, dan yang paling penting, kita harus membangun budaya antikorupsi sejak dini, mulai dari keluarga, sekolah, hingga lingkungan masyarakat. Pendidikan antikorupsi harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Kampanye antikorupsi harus dilakukan secara terus-menerus, melibatkan semua elemen masyarakat. Kita harus menanamkan nilai-nilai integritas, kejujuran, dan tanggung jawab sejak usia dini, agar generasi muda kita tidak teracuni oleh virus korupsi.
Kasus OTT Gubernur Riau dan Wamenaker Noel serta pejabat lainnya adalah tamparan keras bagi wajah demokrasi kita yang terluka dan berdarah. Namun, tamparan ini juga bisa menjadi momentum untuk melakukan perubahan mendasar yang radikal dan revolusioner. Politik yang bersih, transparan, dan akuntabel adalah kunci untuk mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera, bebas dari korupsi dan kejahatan.
Kita tidak bisa lagi hanya mengutuk korupsi tanpa melakukan tindakan nyata. Kita harus berani melawan korupsi, mulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan kerja, hingga sistem politik yang lebih luas. Kita harus menjadi agen perubahan, bukan hanya penonton yang pasif.
Yen kotor ojo ambu, yen amis ojo diguyuhi (Jika kotor jangan dekati, jika amis jangan dihamipiri), hindarilah perbuatan yang buruk agar tidak terkena getahnya. Hanya dengan komitmen dan kerja keras bersama, kita bisa memutus mata rantai korupsi dan membangun masa depan yang lebih baik bagi bangsa. Saatnya bangkit dan melawan, sekarang atau kita akan tenggelam dalam lautan korupsi yang tak berujung!
Artikel ini ditulis oleh: Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas), Jurnalis Senior Pewarna Indonesia dan Kordinator Nasional LSM Gerakan Rakyat untuk Keadilan (GERAK).


