Ironi di Balik Predikat “Sekolah Ramah Anak”: Siswa di Depok Jadi Korban Bully, Pemulihan Trauma Mendesak!

Spread the love

Depok, 24 November 2025 – Sebuah Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Depok yang menyandang predikat “Sekolah Ramah Anak” tercoreng oleh kasus perundungan yang menimpa seorang siswanya. Insiden ini tak hanya meninggalkan trauma mendalam bagi korban, tetapi juga memicu pertanyaan kritis tentang komitmen sekolah dalam melindungi anak-anak dari kekerasan.

Pada 24 November 2025, tim bantuan hukum Radio Relawan Depok (RRD) mendampingi orang tua korban A dalam mediasi yang difasilitasi pihak sekolah. Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari insiden perundungan yang terjadi pada 14 November 2025.

Menurut penuturan orang tua korban, peristiwa bermula saat A sedang bermain tepok kartu bersama teman-temannya. Tiba-tiba, AA, seorang siswa kelas atas, ikut bergabung tanpa izin. Lebih ironis lagi, wali kelas AA justru mengambil dan menyobek kartu-kartu tersebut, yang kemudian memicu serangkaian tindakan perundungan terhadap A.

“Anak saya jadi takut berangkat sekolah. Padahal, kami memilih sekolah ini karena predikatnya ‘Ramah Anak’. Ternyata, itu hanya janji palsu,” ujar sang ibu dengan nada geram.

Kepala sekolah, yang hadir dalam mediasi, menyatakan bahwa kasus ini menjadi “perhatian khusus” pihak sekolah. Namun, respons ini dinilai kurang memuaskan oleh sejumlah pihak.

“Hanya ‘perhatian khusus’? Ini bukan masalah sepele! Ini menyangkut masa depan seorang anak,” tegas S.J. Vatandra Sembiring, S.H., koordinator tim hukum RRD, dengan nada kecewa.

Komite sekolah berjanji akan “terus memantau” situasi dan mengusulkan penempatan guru BK. Namun, langkah ini dianggap sebagai respons yang terlambat dan kurang antisipatif.

“Kenapa guru BK baru diusulkan sekarang? Apakah harus menunggu ada korban dulu baru bergerak?” tanya seorang wali murid dengan nada sinis.

Tim hukum RRD secara tegas mendesak pihak sekolah untuk memprioritaskan pemulihan trauma psikologis yang dialami korban. Mereka meminta agar ahli psikologi dari UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Depok dilibatkan.

“Trauma akibat perundungan bisa menghantui anak ini seumur hidup. Jangan sampai dia kehilangan kepercayaan pada lingkungan sekolah dan orang dewasa,” tandas Vatandra.

Selain itu, RRD juga menuntut agar AA mendapatkan pendampingan psikologis untuk mengatasi potensi perilaku agresifnya. “Perundungan adalah masalah kompleks yang melibatkan korban dan pelaku. Kita harus mencari solusi yang adil dan efektif,” imbuh Hendra Keria Hentas, S.H., anggota tim hukum RRD.

Orang tua AA menyampaikan permintaan maaf yang tulus dan berjanji akan mendidik anaknya agar tidak mengulangi perbuatannya. Mereka juga menyatakan kesiapan untuk menerima konsekuensi jika AA kembali melakukan tindakan perundungan.

Namun, permintaan maaf ini tidak serta merta menghapus kekhawatiran. “Kami menghargai permintaan maafnya, tapi yang terpenting adalah tindakan nyata. Kami ingin melihat perubahan perilaku pada anak itu,” ujar Amin Kusaesi, S.H., anggota tim hukum RRD lainnya.

Kasus ini memicu pertanyaan mendasar tentang makna dan implementasi program “Sekolah Ramah Anak”. Apakah program ini hanya sekadar label formalitas tanpa substansi yang berarti?

“Predikat ‘Sekolah Ramah Anak’ seharusnya menjadi jaminan bahwa setiap siswa merasa aman, nyaman, dan terlindungi. Tapi, kenyataannya jauh panggang dari api,” kritik Vatandra dengan nada pedas.

Insiden ini menjadi momentum penting bagi seluruh elemen pendidikan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem perlindungan anak di sekolah. Jangan sampai kasus serupa terus berulang dan merusak citra pendidikan di Depok.

Jurnalis: Romo Kefas

Tinggalkan Balasan