HIDUP SEPERTI MAKANAN LEZAT MENJELANG TAHUN BARU: MEMEGANG YANG BAIK, JAUHKANLAH DARI YANG JAHAT – SESUAI FIRMAN DAN BUDAYA

Spread the love

Pelitakota.id Pembuka: Ketika Aroma Berbagai Makanan Menjelang Tahun Baru Berbunyi Sebagai Panggilan untuk Mulai Baru

Setiap kali menjelang tahun baru, ada suasana yang berbeda: udara terasa segar, hati penuh harapan, dan meja-meja selalu dipenuhi berbagai makanan lezat – dari opor, rendang, sampai kue-kue manis. Aroma itu tidak hanya membangkitkan selera – ia membangkitkan keinginan: untuk membersihkan yang lama, memilih yang baru, dan bertekad hidup lebih baik. Tapi tahukah kamu, bahwa setiap hidangan yang kamu nikmati menyembunyikan rahasia besar tentang cara hidup yang layak untuk tahun baru yang akan datang?

Setiap pagi, ketika mata kita terbuka menjelang awal tahun, ada suara yang berbisik dalam hati: “Hari ini, apa yang akan kuharus pilih untuk tahun baru ini?” Pesan “ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1 Tesalonika 5:21) bukan hanya ajaran yang tertulis di halaman Alkitab – ia adalah denyutan nadi yang harus menggerakkan setiap langkah kita, sama seperti cara seorang koki yang dengan teliti memilih dan memadukan berbagai bahan untuk membuat hidangan yang sempurna, sebagai tanda persiapan untuk masa depan yang lebih baik.

Seperti seorang koki yang membuat berbagai makanan lezat menjelang tahun baru. Dia tidak akan mengambil sembarang bahan – dia memilih bahan yang segar, sehat, dan berkualitas, menguji setiap bagian: apakah tidak basi, apakah tidak rusak, apakah bisa dipadukan menjadi hidangan yang lezat dan bergizi. Dia juga harus hati-hati menjauhkan bahan yang busuk atau tercemar, karena satu bagian yang buruk bisa merusak seluruh hidangan. Dan ketika dia memasak, dia tidak tergesa-gesa – dia melakukannya dengan teliti, satu langkah demi satu langkah, sehingga hidangan itu bisa dinikmati semua orang dan menjadi karunia yang menandai awal masa depan yang lebih baik bagi yang menerima. Begitu juga dengan hidup kita menjelang tahun baru: kita harus memilih yang baik, menjauhkan yang jahat, dan berpikir matang dalam setiap keputusan – agar hidup kita menjadi karunia bagi diri sendiri dan sesama di tahun yang akan datang.

Di tanah Indonesia, di mana “gotong royong” bukan sekadar kata tapi nyawa yang mengalir dalam urat masyarakat, bagaimana kita menyelaraskan firman Tuhan ini dengan kearifan lokal yang telah membentuk kita menjadi siapa kita hari ini – terutama ketika kita siap memulai hal baru? Ada pribahasa Jawa yang begitu mendalam: “Ojo nganggo raon kang ora diuji, ojo nggunakake ati kang ora di cek” (Jangan gunakan pedang yang tidak diuji, jangan gunakan hati yang tidak diperiksa). Pikirkan saja – seberapa banyak kita pernah mengikuti sesuatu tanpa mempertimbangkan, padahal tahun baru adalah waktu untuk memilih yang benar: apakah ini benar-benar baik bagi diri kita, bagi keluarga, bagi sesama? Ini bukan soal “memaksakan” agama ke dalam budaya, tapi tentang menemukan cahaya Firman yang menyinari keindahan budaya kita – sehingga keduanya bersatu menjadi pondasi untuk hidup yang penuh makna di tahun baru.

1. “Ujilah Segala Sesuatu dan Peganglah Yang Baik”: Teologi Pemeriksaan yang Menyentuh Jiwa Menjelang Tahun Baru

Ayat 1 Tesalonika 5:21 menegaskan: Jangan pernah menjadi orang yang buta hati. Teologis, ini berakar pada keyakinan bahwa Tuhan telah memberika kita akal pikiran dan Roh Kudus bukan untuk kita sembunyikan, tapi untuk kita gunakan untuk membedakan antara cahaya dan kegelapan – terutama ketika kita siap memulai hal baru.

Kita semua kenal tradisi berkumpul menjelang tahun baru – meja dipenuhi berbagai makanan, untuk memaafkan dan saling menerima. Tapi adakah saatnya kita berani bertanya: “Apakah dalam pertemuan ini, kita juga menyembunyikan kebenaran yang seharusnya kita ungkapkan untuk mulai baru?” Ada pribahasa Sunda yang menyentuh hati: “Basa bener teu perlu seueur, basa bohong teu perlu sekeur” (Kata yang benar tidak perlu banyak, kata yang bohong juga tidak perlu banyak).

Seperti dalam perumpamaan koki: ketika dia memilih bahan menjelang tahun baru, dia tidak hanya mengambil apa yang ada – dia menguji setiap bagian. Begitu juga dengan tradisi kita: bila kita tidak menguji dan membersihkannya dari yang buruk, tradisi yang seharusnya memberkati akan malah menjadi sumber penderitaan yang kita bawa ke tahun baru. Saya ingat, di sebuah desa di Jawa Tengah, seorang nenek menceritakan bagaimana pertemuan menjelang tahun baru di desanya dulu selalu diisi dengan kebenaran – bahkan jika itu menyakitkan – agar semua orang bisa mulai tahun baru dengan hati yang bersih. Tapi sekarang, terkadang ia hanya menjadi ajang untuk menyembunyikan kecurangan petani yang dirampas tanahnya, atau anak muda yang dibully tanpa ada yang berani bicara. Di sinilah ayat ini berperan: “Ujilah!” – uji tradisi kita, uji niat kita, sehingga yang kita pegang adalah yang benar-benar membawa kebahagiaan di tahun baru.

2. “Jauhkanlah Dirimu Dari Segala Jenis Kejahatan”: Bahaya “Kecil” yang Memakan Karakter Sebelum Tahun Baru

Peringatan tentang “tindakan jahat kecil” yang bisa hancurkan karakter kita sesuai dengan Ibrani 12:1: “Lepaskanlah segala beban yang membebani dan dosa yang selalu mengikut kita” – pesan yang sempurna menjelang tahun baru. Di hati setiap orang Indonesia, ada keyakinan yang seringkali menyebalkan: “Yang kecil tidak apa-apa” – misalnya, mengambil barang kecil dari kantor, menyebarkan gosip yang “sedikit”, atau mengutang dan terlambat membayar tanpa alasan. Tapi teologis, dosa tidak mengenal ukuran – ia adalah duri yang menyakitkan, yang jika tidak kita keluarkan sebelum tahun baru, akan tumbuh dan merusak seluruh tubuh kita di masa depan.

Ada pribahasa Jawa yang begitu tepat: “Wong suci ora ana, nanging wong sing ngendhaleni dosane” (Orang suci tidak ada, tapi ada orang yang mengendali dosanya). Seperti dalam perumpamaan koki: satu bahan yang busuk bisa merusak seluruh hidangan. Pikirkan saja: seberapa banyak kejahatan kecil yang kamu biarkan bawa ke tahun baru? Saya pernah melihat seorang pemuda yang awalnya hanya mengambil uang kecil dari dompet ayahnya, hingga akhirnya terjebak dalam kecurangan yang lebih besar di awal tahun baru. Dia berkata: “Aku tidak menyadari bahwa kejahatan kecil itu bisa membuat aku lupa siapa aku sebenarnya saat aku ingin mulai baru”.

Di masyarakat kita, gosip sering dianggap sebagai “berbagi informasi” menjelang tahun baru. Tapi Matius 12:36 mengatakan: “Setiap kata yang tidak benar yang kamu ucapkan, kamu harus menjawabnya di hari penghakiman”. Ini sesuai dengan pribahasa Sunda: “Basa salira, basa uga ngancurakeun” (Kata bisa menyembuhkan, kata juga bisa merusak). Bayangkanlah – kata-kata kita yang “sedikit” bisa membuat seseorang merasa sendirian dan hilang harapan menjelang tahun baru. Bukankah itu bertentangan dengan nilai “ruh kekeluargaan” yang kita selalu banggakan saat mempersiapkan masa depan?

3. “Jangan Gegabah Ambil Keputusan”: Kedewasaan Spiritual dalam Menyiapkan Tahun Baru

Dalam budaya Indonesia, kita sering diajarkan untuk “mematuhi orang tua” atau “mengikuti keputusan kelompok” – nilai yang indah, tapi terkadang membuat kita lupa untuk berpikir dengan kepala sendiri, terutama ketika kita ingin membuat keputusan penting menjelang tahun baru. Yakobus 1:19 mengingatkan: “Pendengar yang cerdas, jangan cepat berbicara, jangan cepat marah”. Teologis, ini berarti kita harus mencari bimbingan Roh Kudus dan mempertimbangkan konsekuensi setiap keputusan, bahkan jika itu berarti bertentangan dengan keinginan kelompok – agar kita tidak menyesal di awal tahun baru.

Pribahasa Jawa berkata: “Ojo keprungu, ojo kesusahan” (Jangan tergesa-gesa, jangan kesulitan nanti). Seperti dalam perumpamaan koki: dia tidak memasak tergesa-gesa menjelang tahun baru – dia melakukannya dengan teliti, agar hidangan itu lezat dan bergizi. Saya ingat seorang gadis yang hampir menikah karena “itu keinginan orang tuanya” menjelang tahun baru, tapi dia berani menunda untuk memikirkan lagi. Dia berkata: “Aku tidak ingin menyesal nanti karena keputusan yang tidak dipikirkan matang saat aku ingin mulai hidup baru”. Akhirnya, dia menemukan pasangan yang benar bagi dirinya di tengah tahun baru – dan orang tuanya pun mengerti.

Terkadang, “kepatuhan terhadap kelompok” membuat kita melakukan hal yang salah – seperti berpartisipasi dalam korupsi karena “semua orang lakukan” menjelang tahun baru. Di sinilah pribahasa Sunda “Jangan ngikut omong liang, tapi ngikut akal sehat” (Jangan mengikuti omongan sembarangan, tapi mengikuti akal sehat) menjadi sangat penting. “Pegang yang baik, tekuni terus” berarti kita harus berani berdiri tegas untuk kebenaran – bahkan jika kita sendirian – sehingga tahun baru menjadi awal yang benar. Seperti yang diajarkan Yesus di Matius 5:14: “Kamu adalah terang dunia” – jangan biarkan dunia itu memadamkan cahaya yang ada dalam dirimu saat mempersiapkan masa depan.

Refleksi ini bukan tentang menolak budaya Indonesia – melainkan tentang mencintainya lebih dalam, dengan menyaring yang baik dan menjauhkan yang buruk menjelang tahun baru. Seperti pribahasa Jawa yang mengatakan: “Bojo kang apik, diparingi Allah; budaya kang apik, dipunteni manungsa” (Pasangan yang baik, diberikan Allah; budaya yang baik, dihargai manusia). Kita harus menghargai budaya kita, tapi juga mengujinya dengan Firman Tuhan – sehingga ia tetap menjadi karunia yang memberkati, bukan beban yang kita bawa ke tahun baru.

Seperti dalam perumpamaan koki yang telah kita ikuti sepanjang artikel: hidup kita menjelang tahun baru adalah hasil dari pilihan yang kita buat – memilih yang baik, menjauhkan yang jahat, dan berpikir matang dalam setiap langkah. “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” adalah panggilan untuk hidup dengan hati yang terbuka dan akal yang jernih – hidup yang menyentuh hati sesama dan memenuhi kehendak Tuhan di tahun baru. Di tanah Indonesia yang kaya akan warna dan budaya, kita bisa menjadi contoh bagi dunia: bagaimana memadukan keyakinan yang murni dengan kearifan lokal yang berharga, sehingga setiap langkah kita menjadi bukti kasih Tuhan dan keadilan saat memulai hal baru.

Semua itu dimulai dari pilihan sehari-hari menjelang tahun baru – pada pagi ini, besok, dan di hari pertama tahun baru: Pilih yang baik. Jauhkan yang jahat. Dan tekuni terus dengan sepenuh hati.

Semoga refleksi ini menjadi cahaya dalam kegelapan, harapan dalam kesusahan, dan pedoman yang kuat untuk tahun baru yang akan datang. Amin.

Oleh Kefas Hervin Devananda

Tinggalkan Balasan