Hak Rakyat Bukan Mainan! – Ketika Pejabat Negara Menjadi Pelanggar HAM yang Harus Dijerat Sanksi

Spread the love

Oleh: Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas) – Jurnalis Senior Pewarna Indonesia dan Direktur LKBH Pewarna Indonesia

Probolinggo – Hak atas informasi publik adalah HAM yang tidak bisa dinegosiasikan – demikian tercantum dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” – dan dijabarkan secara rinci dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Sebagai yang telah bertahun-tahun melayani warga di LKBH, saya menyaksikan betapa banyak kasus di mana pejabat yang seharusnya menjadi penjaga hukum malah menjadi yang paling berani melanggarnya – termasuk yang terungkap di Probolinggo. Ini bukan sekadar kesalahan administrasi, tapi kezaliman terstruktur yang membuat warga terjebak di dalam labirin ketidakjelasan, sedangkan pejabat bersantai di balik tembok kekuasaan yang mereka bangun sendiri. “Kebo di padang, ndasmu mangan rumput, nanging mlayu kalo disuruh ngebukak pager” – begitu pribahasa Jawa yang satir yang cocok: mereka menikmati hasil kerja rakyat, tapi tak mau membuka pintu kebenaran yang seharusnya menjadi hak rakyat.

Mari kita tidak berbisu: ketika pejabat menolak permintaan informasi publik tanpa alasan sah – seperti yang diatur dalam Pasal 17 UU KIP yang menyatakan alasan penolakan hanya terbatas pada hal-hal yang mengancam keamanan negara, privasi, atau kepentingan publik yang lebih besar – mereka secara langsung melanggar Pasal 52 UU KIP yang menghukum dengan penjara maksimal 1 tahun atau denda maksimal Rp 100 juta. Ketika mereka mengingkari putusan Komisi Informasi (KI) yang sudah kekuatan hukum tetap (Inkracht van gewijsde) seperti yang terjadi di Probolinggo, mereka tidak hanya menentang lembaga pengawas yang sah, tapi juga melanggar Pasal 47 UU KIP yang mengharuskan semua pihak mematuhi putusan KI. Ini adalah pelanggaran hukum yang jelas, tapi mengapa begitu banyak pejabat masih berani melakukannya? “Jagoan ing alun-alun, kutil ing mburi” – mereka tampak gagah dan patuh hukum di depan publik, tapi menyembunyikan kejanggalan dan pelanggaran di belakang layar.

Jawabannya sederhana: karena tidak ada konsekuensi yang nyata – setidaknya bagi mereka yang masih merasa terlindungi oleh jabatan. Banyak kasus penolakan informasi hanya berakhir sebagai laporan di surat kabar, tanpa ada langkah penegakan hukum yang tegas. Ombudsman kadang hanya memberikan rekomendasi yang diabaikan (padahal sesuai UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman mereka berwenang menuntut penegakan rekomendasi), KI sering kekurangan sumber daya untuk menegakkan putusannya (meskipun Pasal 59 UU KIP membentuk KI sebagai lembaga pengawas yang mandiri), dan penegak hukum tampak enggan menindak pelanggaran yang dilakukan oleh sesama pejabat. Ini menciptakan budaya “tidak apa-apa” di kalangan pejabat: mereka merasa bebas menolak hak rakyat karena tahu tidak akan ada yang menghukum mereka. “Banyu nganti ke pucuk rambat, tetep ora ngerti asale” – mereka berjalan-jalan di atas aturan hukum, tapi tak pernah mau tahu dari mana aturan itu berasal dan untuk siapa. Ini adalah kehancuran sistem hukum yang seharusnya melindungi warga, bukan melindungi pelanggar – dan sebagai jurnalis dan aktivis, saya tidak bisa diam melihat hal ini.

Tetapi kesalahan besar mereka: hukum tidak akan selalu diam. Ketika putusan KI tidak ditegakkan, warga berhak mengajukan eksekusi paksa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) – sesuai Pasal 53 UU KIP yang mengatur proses eksekusi putusan KI melalui PTUN. Dan jika pejabat masih menolak melaksanakan putusan PTUN yang sudah kekuatan hukum tetap, maka sanksi yang lebih berat akan menjeratnya. Menurut UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, jika setelah 60 hari kerja putusan tidak dilaksanakan, maka keputusan tun yang disengketakan akan hilang kekuatan hukum. Lebih jauh, UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU PTUN juga mengatur sanksi berupa pembayaran uang paksa (dwangsom), sanksi administratif, bahkan pemampangan nama di media massa jika mereka tetap keras kepala. Kasus di Jambi tahun 2025 bahkan menunjukkan bahwa pejabat bisa dikenai sanksi administratif sedang berupa pemberhentian sementara – seperti yang LKBH Pewarna juga dukung terhadap Gubernur Jambi dan Bupati Tebo yang menolak melaksanakan putusan KI dan PTUN tentang akses dokumen APBD. “Ojo sok kuat, nanti kebakul” – jangan sok berkuasa, nanti malah terjebak dalam jerat sendiri.

Selain sanksi administratif dan perdata, pejabat juga berisiko terkena tuntutan pidana. Jika penolakan informasi publik disertai dengan dugaan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau pelanggaran hak asasi manusia, mereka bisa dijerat dengan pasal-pasal di UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) atau KUHP. Misalnya, jika penolakan informasi dilakukan untuk menyembunyikan kecurangan dalam pengelolaan keuangan negara, pejabat bisa dikenai pasal 3 atau 18 UU Tipikor yang menghukum dengan penjara maksimal 20 tahun. Bahkan, hanya karena menolak memberikan informasi publik tanpa alasan sah, mereka sudah bisa dijerat Pasal 52 UU KIP yang membawa ancaman penjara 1 tahun – sebuah sanksi yang tidak boleh dianggap remeh. “Nganggo jimat nganti kesasar, nyemplung ke kali yang kedalaman” – mereka berpikir bisa terlindungi oleh jabatan, tapi malah terjun ke dalam masalah yang lebih besar.

Perjuangan warga Pilang yang mengajukan eksekusi paksa ke PTUN dan berencana melaporkan ke Polda Jatim adalah tindakan yang mutlak perlu – tapi juga tanda betapa parah situasi ini. Warga tidak boleh harus berjuang sejauh itu hanya untuk mendapatkan apa yang sudah menjadi hak mereka sejak lahir. Semua pejabat di Indonesia – dari lurah hingga menteri – harus menyadari: setiap kali Anda menutup pintu informasi, Anda membuka pintu ke korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan ketidakadilan. Setiap kali Anda mengingkari putusan KI atau PTUN, Anda mengakui bahwa Anda lebih suka kekuasaan daripada hukum – dan itu akan membuat Anda terjebak dalam jaring sanksi yang tak terhindarkan.

Ini adalah saatnya untuk melakukan perubahan yang mendasar. Penegak hukum harus tegas menindak setiap pelanggaran UU KIP tanpa pandang jabatan. KI harus diberi wewenang dan sumber daya untuk menegakkan putusannya secara otomatis (seperti yang diharapkan dari Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik). Dan para pejabat harus diajarkan bahwa mereka adalah hamba rakyat, bukan tuan rakyat. Jika tidak, kasus Probolinggo tidak akan menjadi akhir – itu hanya awal dari kehancuran demokrasi yang kita bangun dengan darah dan keringat nenek moyang. “Kulo kersa damel apik, nanging ora gelem ditliti” – itu yang seringkali terjadi, tapi sebagai jurnalis dan aktivis hukum, saya akan terus berjuang agar mereka mulai bertindak sesuai hukum.

Tinggalkan Balasan