Gereja: Dari Tempat Ibadah Menjadi Medan Pertarungan Kekuasaan

Spread the love

Pelitakota.id Gereja, dalam pemahaman rohani, adalah tubuh Kristus, tempat di mana umat bersatu dalam kasih dan pelayanan. Gereja bukan hanya sebuah bangunan fisik, tetapi juga komunitas yang hidup dan bernafas dalam kasih Tuhan. Di dalam gereja, umat diharapkan dapat menemukan kekuatan spiritual, dukungan komunitas, dan bimbingan menuju kehidupan yang lebih baik sesuai dengan ajaran Kristus. Namun, realitas gereja seringkali berbeda. Di balik dinding-dinding yang dicat dengan warna-warna indah dan di bawah naungan salib yang suci, tersembunyi permainan politik dan kepentingan pribadi yang menggerogoti esensi sejati dari iman.

Gereja, sebagai institusi yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat, seringkali menjadi ajang perebutan kekuasaan dan pengaruh. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti perebutan posisi kepemimpinan, kontrol atas sumber daya, dan pengaruh dalam pengambilan keputusan. Selain itu, gereja juga memiliki aset yang besar, seperti tanah, bangunan, dan keuangan, yang dapat menjadi sumber kekuasaan dan pengaruh. Kecenderungan ini dapat menyebabkan gereja kehilangan fokus pada misi dan pelayanan yang sebenarnya, serta merusak citra gereja di mata masyarakat. Seperti peribahasa Tionghoa “水清无鱼” (shuǐ qīng wú yú), yang berarti “air yang terlalu jernih tidak ada ikan,” kesempurnaan yang berlebihan dalam gereja dapat menyebabkan kehilangan esensi dan tujuan sebenarnya.

Tanda-Tanda Pertarungan Kekuasaan

  • Perpecahan di dalam komunitas gereja
  • Kepentingan pribadi lebih diutamakan daripada kepentingan komunitas
  • Penggunaan kekuasaan untuk kepentingan sendiri

Dampak Negatif

  • Gereja kehilangan fokus pada misi dan pelayanan
  • Citra gereja menjadi rusak di mata masyarakat
  • Umat kehilangan kepercayaan terhadap gereja

Mari kita introspeksi diri dan bertobat dari ambisi dan kekuasaan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai gereja. Sebagai umat yang setia, kita perlu merefleksikan peran kita dalam gereja. Apakah kita lebih fokus pada kepentingan pribadi atau benar-benar melayani Tuhan dan sesama? Apakah kita membiarkan ambisi dan kekuasaan menguasai hati kita, ataukah kita memilih untuk hidup dalam kasih dan kerendahan hati? Seperti yang tertulis dalam *Matius 20:25-28*, “Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata, ‘Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu.'” Kita dipanggil untuk hidup dalam kasih, kerendahan hati, dan pelayanan, serta bertindak secara alami dan harmonis seperti prinsip “Wu Wei” dalam filsafat Tiongkok. Dengan demikian, gereja dapat menjadi tempat yang penuh kasih dan damai, di mana umat dapat mencari Tuhan dan melayani sesama dengan tulus. Seperti yang tertulis dalam *1 Petrus 4:8-9*, “Tetetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa. Berilah tumpangan rumah dengan tidak mengeluh.” Mari kita ingat peribahasa Jawa “aja gumunan, aja getunan, aja kagetan” (jangan heran, jangan menyesal, jangan kaget) dan tidak terkejut dengan realitas ini, tetapi untuk introspeksi dan memperbaiki diri.

Dengan merefleksikan peran kita dalam gereja dan menerapkan prinsip-prinsip kasih dan pelayanan, kita dapat membangun gereja yang lebih kuat dan harmonis. Mari kita introspeksi diri dan bertobat dari ambisi dan kekuasaan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai gereja, serta memastikan bahwa struktur dan proses gereja mendukung misi dan pelayanan yang mulia. Dengan demikian, gereja dapat menjadi tempat yang penuh kasih dan damai, di mana umat dapat mencari Tuhan dan melayani sesama dengan tulus.

Penulis:Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)

Tinggalkan Balasan