Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Penghinaan terhadap Keadilan, Pengkhianatan Demokrasi, dan Genosida Budaya Ingatan

Spread the love

Bogor – Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bukan sekadar kontroversi, melainkan sebuah kebiadaban moral yang mengoyak-ngoyak nurani bangsa dan mengancam kehancuran fondasi demokrasi. Di atas kuburan para korban rezim bengis Orde Baru, pemerintah dengan tanpa malu menabur bunga busuk penghormatan kepada diktator yang selama 32 tahun mencengkeram Indonesia dalam cengkeraman korupsi, penindasan, dan teror. Ini adalah deklarasi perang terhadap keadilan, sebuah penghinaan terhadap memori para martir reformasi, dan sebuah upaya menjijikkan untuk merehabilitasi seorang tiran yang tangannya berlumuran darah.

Keputusan ini bukan hanya melukai memori kolektif bangsa tentang Orde Baru yang penuh darah dan air mata, tetapi juga mengkhianati secara telanjang nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan dengan nyawa. Bagaimana mungkin seorang tiran yang bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan yang mengerikan, praktik korupsi yang merajalela, dan pembungkaman kebebasan sipil justru diganjar dengan gelar pahlawan? Ini adalah pembenaran terhadap kejahatan, penghinaan terhadap keadilan, dan ludah di wajah para korban yang merindukan pemulihan. Ini adalah pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi dan pengingkaran terhadap penderitaan jutaan rakyat Indonesia.

Langkah Presiden Prabowo Subianto beserta jajaran pemerintah yang memberikan gelar ini atas dasar perselingkuhan politik dan hubungan kekeluargaan adalah sebuah penghinaan terhadap akal sehat. Gelar pahlawan seharusnya menjadi simbol keteladanan moral dan pengorbanan demi kepentingan rakyat, bukan sekadar alat legitimasi kekuasaan atau balas jasa politik kotor. Tindakan ini adalah pengkhianatan terhadap sumpah jabatan dan penghancuran kepercayaan publik terhadap institusi negara. Kebijakan ini adalah pelanggaran terang-terangan terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, yang secara jelas mensyaratkan integritas moral dan keteladanan bagi penerima gelar pahlawan. Soeharto, dengan catatan kelamnya, jelas tidak memenuhi syarat tersebut. Pemberian gelar ini adalah tindakan ilegal dan tidak bermoral yang harus dilawan dengan segala cara.

Soeharto memang membual tentang pembangunan ekonomi, tetapi pembangunan yang hanya dinikmati para perampok negara dan kroni-kroninya, sementara rakyat jelata terjerembab dalam kemiskinan dan penindasan, bukanlah pembangunan yang bermartabat. Pembangunan yang mengorbankan kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan adalah pembangunan yang terkutuk. Pengakuan atas “jasa” ekonomi tidak dapat menutupi kejahatan kemanusiaan yang telah diperbuat. Alissa Wahid dari Jaringan Gusdurian dengan lantang menyatakan bahwa pemberian gelar pahlawan nasional tidak bisa dipisahkan dari kriteria integritas moral, kesediaan berkorban, dan perjuangan untuk rakyat banyak – kriteria yang sama sekali tidak dimiliki oleh Soeharto. Pembangunan ekonomi yang dibangun di atas darah dan air mata rakyat tidak pantas mendapatkan penghargaan, melainkan kutukan sejarah.

Penolakan terhadap pemberian gelar ini bukan hanya datang dari Jaringan Gusdurian. Sejumlah organisasi masyarakat sipil, aktivis HAM, dan mahasiswa dengan berani menyuarakan kemarahan dan penolakan mereka. Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (Gemas) telah mengirimkan surat terbuka kepada Ketua MPR RI, mengecam wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sebagai upaya pemutihan dosa dan penghapusan sejarah. Ini adalah tindakan heroik yang patut kita dukung dan teladani. Di Yogyakarta, elemen masyarakat sipil dengan tegas menyatakan bahwa pemerintahan Prabowo Subianto telah membunuh nurani bangsa. KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mengecam pemberian gelar ini sebagai penghinaan terhadap para korban pelanggaran HAM berat. Ribuan orang telah menandatangani petisi online yang menuntut pembatalan gelar tersebut. Suara-suara penolakan ini adalah bukti bahwa nurani bangsa masih hidup dan tidak akan pernah bisa dibungkam.

Lebih jauh lagi, pemberian gelar ini adalah upaya sistematis untuk memutarbalikkan sejarah dan menutupi kejahatan rezim Orde Baru. Generasi muda akan dicekoki dengan propaganda palsu tentang Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan”, sementara kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya akan dilupakan atau disangkal. Ini bukan sekadar distorsi sejarah, melainkan sebuah genosida budaya ingatan, sebuah upaya sistematis untuk menghancurkan warisan sejarah yang pahit namun penting, demi menciptakan narasi palsu yang menguntungkan para pelaku kejahatan. Tindakan ini merupakan bagian dari proyek genosida budaya yang lebih luas, yang bertujuan untuk menghapus identitas dan ingatan kolektif para korban, sehingga kejahatan masa lalu dapat dilupakan dan diulang kembali.

Gelar pahlawan untuk Soeharto adalah tamparan mematikan bagi wajah demokrasi Indonesia. Ini adalah saatnya bagi kita untuk bangkit melawan kezaliman, menuntut keadilan bagi para korban, dan memastikan bahwa sejarah tidak akan pernah dilupakan. Kita harus melawan segala bentuk upaya untuk merehabilitasi Soeharto dan rezim Orde Baru. Kita harus terus menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan keadilan, sampai kejahatan Orde Baru diadili dan para korban mendapatkan pemulihan yang layak.

Semoga api perlawanan terus menyala dalam dada kita. Kita harus terus berjuang untuk kebenaran dan keadilan, sampai kejahatan Orde Baru diadili dan para korban mendapatkan pemulihan yang layak. Kita tidak boleh menyerah. Kita harus terus berjuang sampai keadilan ditegakkan dan kebenaran terungkap.

Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)

Tinggalkan Balasan