GARAM BUMI DI PANGGUNG POLITIK: KEWAJIBAN KITA SEBAGAI ANAK-ANAK TUHAN

Spread the love

Bogor,14 Desember 2025 Bayangkan sebuah dunia tanpa garam: makanan hilang rasa, benda-benda cepat membusuk, dan jalanan licin berbahaya saat hujan. Gambar itu tidak hanya tentang kebutuhan fisik – ia adalah perumpamaan teologis yang dalam dari Yesus di Matius 5:13, di mana Dia menyatakan: “Kalau garam hilang rasa, dengan apa ia akan kembali berasa? Ia tidak berguna lagi, kecuali dibuang dan diinjak-injak oleh orang.”

Kita, sebagai anak-anak Tuhan, adalah “garam bumi” – bukan sekadar kelompok yang hidup di pinggiran masyarakat atau hanya berkumpul di gereja. Kita adalah unsur yang harus ada di tengah-tengah kehidupan bersama, termasuk di panggung politik negara. Pribahasa Jawa yang pas mengungkapkannya: “Wong suwung ora isa nglawan geni, wong sepi ora isa nglawan oncor” (Orang sendirian tidak bisa memadamkan api, orang yang diam tidak bisa melawan kerusakan). Artinya, berdiam diri di tengah masalah sosial dan politik bukanlah pilihan – itu adalah keadaaan yang membuat kita “garam yang hilang rasa”.

Banyak pembaca mungkin merasa jauh dari politik, mengira itu hanya urusan orang dewasa yang penuh konflik dan kebohongan. Tapi mari kita pahami dengan benar: politik adalah proses pembuatan aturan dan keputusan yang mempengaruhi kehidupan setiap orang di negara ini – dari hak akses pendidikan anak-anak, hingga perlindungan orang miskin, hingga keamanan pengungsi.

Sebagai anak-anak Yesus, kita memiliki kewajiban teologis untuk memperjuangkan agar aturan-aturan itu selaras dengan ajaran Alkitab. Ini bukan tentang memaksakan keyakinan agama kita ke orang lain – konsep itu bahkan bertentangan dengan semangat kasih Yesus. Tapi ini tentang memastikan bahwa keadilan, kasih, perlindungan terhadap lemah, dan kebenaran – nilai-nilai yang menjadi inti ajaran Tuhan – tidak hanya menjadi kata-kata di khotbah, tapi menjadi realitas di kehidupan masyarakat.

Seperti yang Tuhan ucapkan melalui Nabi Amos di Amos 5:24: “Biarlah keadilan mengalir seperti sungai, dan kebenaran seperti aliran air yang terus-menerus.” Pribahasa Jawa “Adil sebageyan, setara kabeh” (Keadilan sedikit, kesetaraan semua) menguatkan makna ini: keadilan yang kita perjuangkan harus merata, menyentuh semua lapisan masyarakat, tanpa pembedaan.

Ada kesalahpahaman yang luas bahwa peran umat dalam politik adalah untuk “mengambil alih” negara dan membentuknya sesuai dengan dogma agama. Tapi Alkitab secara teologis menekankan bahwa kita adalah pelayan, bukan penguasa. Seperti yang Paulus tulis di Roma 13:4: “Karena pemerintah adalah hamba Tuhan yang bekerja untuk kebaikanmu. Jika kamu melakukan kejahatan, takutlah, karena ia tidak memegang pedang dengan sia-sia; ia adalah hamba Tuhan, yang memukul sebagai pembalas bagi orang yang melakukan kejahatan.”

Maknanya: kita tidak ada di politik untuk mendominasi, tapi untuk membantu pemerintah memenuhi tugasnya sebagai “hamba Tuhan” yang melayani kebaikan. Ketika pemerintah menyimpang dari nilai-nilai keadilan, kita memiliki tanggung jawab untuk menegur – bukan dengan kemarahan, tapi dengan kebijaksanaan dan kasih. Seperti garam yang sia-sia jika hanya disimpan di botol, nilai-nilai iman kita sia-sia jika tidak dibawa ke ruang rapat, meja negosiasi, dan lapangan pemilihan umum.

Banyak pembaca mungkin berpikir: “Aku cuma orang biasa – apa yang bisa kubuat di dunia politik yang besar?” Pemahaman teologis yang benar menjawab: Tuhan tidak melihat seberapa besar kita, tapi seberapa bersedia kita untuk digunakan-Nya.

Lihat contoh Nabi Daniel: dia muda, bekerja di istana raja Nebukadnezar yang tidak percaya pada Tuhan. Tapi dia berani berdiri tegas untuk keyakinannya, bahkan ketika menghadapi bahaya, dan akhirnya menjadi penasihat raja yang dihormati yang membawa kebijaksanaan dan keadilan. Atau Nabi Amos: dia bukan nabi yang terlatih, tapi petani yang berani menegur raja dan para pemimpin Israel karena mereka melupakan orang miskin dan memeras orang lemah (Amos 5:11-12).

Perjuangan kita harus selalu disertai dengan cara yang lembut tapi penuh makna – sesuai dengan pribahasa Jawa “Basa kalem, isi wedi; basa kasar, isi kosong” (Bicara lembut, isi penuh makna; bicara kasar, isi hampa). Di 1 Petrus 2:15, kita diajarkan: “Kalau demikian, kamu akan membuat tidak berarti tuduhan orang yang membicarakan kamu sebagai orang yang berbuat jahat padahal kamu hidup dengan baik di tengah mereka yang tidak taat kepada Tuhan.” Ini adalah strategi teologis yang kuat: hidup dengan benar dan berbicara dengan kebijaksanaan lebih efektif daripada bertengkar.

Dunia politik seringkali dipenuhi dengan konflik, prasangka, dan pembagian. Di tengah kekacauan itu, Alkitab memanggil kita untuk menjadi jembatan – orang yang menghubungkan pihak-pihak bertentangan dengan dasar kasih dan keadilan. Ini sesuai dengan contoh Yesus yang selalu berdiri di sisi orang terpinggirkan: orang miskin, orang cacat, pelacur, dan semua yang dikecualikan oleh masyarakat.

Kita juga harus mengingat bahwa doa adalah bagian tak terpisah dari perjuangan kita. Di 1 Timotius 2:1-2, Paulus menasihatkan: “Pertama-tama aku menasihatkan: naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan.” Doa ini bukan tanda ketidakberdayaan, tapi bentuk partisipasi teologis yang kuat – kita menyerahkan semuanya kepada Tuhan yang berdaulat atas segala kekuasaan. Pribahasa Jawa “Luwih apik sinau sinau, luwih apik doa doa” (Lebih baik belajar terus, lebih baik berdoa terus) menguatkan ini: upaya kita harus dibarengi dengan doa untuk kebaikan bersama.

Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah: “Bolehkah kita membentuk Partai Kristen dengan platform kesetaraan? Apakah itu sesuai dengan ajaran Alkitab dan konstitusi Indonesia?”

Mari kita bedah dengan pemahaman teologis dan konstitusional yang benar:

Sesuai dengan Alkitab?

Alkitab tidak secara tegas menyuruh atau melarang membentuk partai politik berbasis agama. Yang menjadi titik teologis penting adalah nilai-nilai yang dibawa oleh partai itu. Jika Partai Kristen dibentuk untuk memperjuangkan kesetaraan untuk SEMUA orang (tidak hanya umat Kristen) dan bertujuan mempromosikan keadilan, kasih, dan perlindungan terhadap lemah – maka itu sesuai dengan semangat Alkitab. Yang harus dihindari adalah memaksakan ajaran agama ke orang lain atau mengecualikan yang berbeda keyakinan – karena itu bertentangan dengan perintah Yesus untuk mencintai sesama manusia.

Sesuai dengan Amanat Konstitusi Indonesia?

UUD 1945 sebagai dasar negara menegaskan dua prinsip yang saling melengkapi: Ketuhanan Yang Maha Esa dan kebebasan beragama serta kesetaraan. Pasal 28E ayat (1) menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan beragama, berkeyakinan atas Tuhan Yang Maha Esa, dan berkepercayaan.” Pasal 28D ayat (1) menambahkan: “Setiap orang berhak atas martabat manusia yang mulia, hak-hak asasi manusia, dan diperlakukan sama di depan hukum dan pemerintahan, tanpa ada pembedaan.”

Ini berarti:

– Boleh membentuk partai berbasis agama, asalkan tidak melanggar hak-hak orang lain dan prinsip kesetaraan.
– Platform partai yang fokus pada kesetaraan untuk semua (tanpa pembedaan agama, suku, jenis kelamin) sangat sesuai dengan UUD 1945.

Indonesia adalah negara bernegara hukum yang berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa – nilai-nilai agama bisa menjadi landasan, tapi tidak boleh digunakan untuk menindas atau mengecualikan.

Ingat: Banyak Cara Menuju Roma

Penting untuk dipahami teologis: membentuk Partai Kristen bukan satu-satunya cara untuk menjalankan kewajiban kita. Kita juga bisa terlibat dalam partai lain yang memiliki platform sesuai dengan nilai-nilai iman, atau bekerja sebagai individu yang membawa kebenaran ke dalam politik. Yang paling penting adalah tujuan kita: membuat dunia ini lebih adil dan penuh kasih bagi semua orang – sesuai dengan pribahasa Jawa “Banyak cara menuju Roma” (banyak jalan untuk mencapai tujuan yang baik).

Peran kita dalam politik bukan sebuah kesalahan, bukan pilihan semata – itu adalah KEWAJIBAN DAN KEHARUSAN yang jelas dari Tuhan Yesus dalam Alkitab.

Kita dipanggil untuk menjadi garam yang berani beraksi: memberi rasa pada kebijakan yang hambar, melindungi yang lemah, dan menjaga keseimbangan dengan keadilan dan kasih. Seperti yang Yesus katakan di Markus 12:17: “Berikanlah kepada kaisar apa milik kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa milik Tuhan” – kita menjalankan kewajiban sebagai warga negara, tetapi selalu memprioritaskan ketaatan kepada Tuhan. Pribahasa Jawa “Wong tuwa menehi wejangan, wong enom ngrampungake urusan” (Orang tua memberi nasihat, orang muda melaksanakan urusan) mengingatkan kita: kita harus memegang teguh nilai-nilai iman yang diajarkan, lalu terapkan untuk mengubah dunia sekarang.

Filosofi teologis kita sederhana tapi dalam: kita hidup di dunia ini sebagai “penginjil” di tengah kehidupan sehari-hari – bukan untuk melarikan diri dari masalahnya, tapi untuk menjadi bagian dari solusinya. Dan politik adalah salah satu ruang terpenting di mana injil kasih dan keadilan harus diwujudkan.

Jadi, jangan takut untuk terlibat! Mulai dari membaca berita yang akurat, berbicara tentang keadilan dengan teman-teman, sampai nanti memilih pemimpin yang baik – atau bahkan membangun gerakan yang membawa nilai-nilai kesetaraan. Bersama-sama, sebagai anak-anak Tuhan yang berani dan warga Indonesia yang cinta tanah air, kita akan menjalankan kewajiban yang Tuhan berikan.

Ini bukan pilihan. Ini kewajiban kita sebagai anak-anak Yesus – dan dunia membutuhkannya.

Siapkah kamu untuk menjalankannya?

Ditulis oleh: Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas),S.Th.M.Pd.K

Profil singkat penulis: Lahir dan tumbuh di Jawa Barat, Rohaniawan dari Sinode Gereja Pentakosta Isa Al-Masih Indonesia (GPIAI) yang telah melayani lebih dari 20 tahun Sebagai Penginjil. Selain aktif di bidang rohani, ia juga bekerja sebagai Jurnalis Senior Pewarna Indonesia yang sering menulis tentang isu sosial, politik, dan agama. Saat ini menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Ormas Parkindo, dengan fokus pada penguatan peran umat dalam membangun demokrasi yang adil dan sejahtera.

 

Tinggalkan Balasan