Fenomena PPPK Paruh Waktu,Antara Pengabdian Dan Kebijakan

Spread the love

Tulungagung,pelitakota-Kebijakan PPPK Paruh Waktu bagi guru Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Tulungagung menuai keluhan, khususnya terkait besaran gaji yang hanya sekitar Rp350.000 per bulan. Nominal tersebut dinilai para guru tidak sebanding dengan beban kerja dan masa pengabdian yang telah dijalani selama bertahun-tahun.

Sejumlah guru SD berstatus PPPK Paruh Waktu mengungkapkan bahwa meskipun berlabel “paruh waktu”, tugas yang mereka emban nyaris sama dengan guru lainnya, mulai dari mengajar di kelas, menyiapkan perangkat pembelajaran, hingga mengerjakan administrasi sekolah.

Kami tetap mengajar, membuat administrasi, ikut kegiatan sekolah. Tapi gajinya hanya Rp350 ribu. Untuk ongkos saja sering tidak cukup,” keluh salah satu guru.

Keluhan juga datang dari guru-guru yang telah mengabdi 10 hingga 15 tahun, namun merasa penghasilan yang diterima saat ini tidak mencerminkan pengabdian panjang mereka.

Kami tidak menuntut jadi ASN penuh, tapi setidaknya ada penghargaan yang manusiawi. Jangan sampai status diakui, tapi kesejahteraan diabaikan,” ujar guru lainnya.

Menanggapi hal tersebut, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tulungagung, Sukowinarno, SH, S.Pd, M.Si, menjelaskan bahwa kebijakan PPPK Paruh Waktu merupakan terobosan pemerintah pusat yang sangat luar biasa, mengingat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, status ASN hanya terdiri dari PNS dan PPPK, tanpa nomenklatur PPPK Paruh Waktu.

Secara regulasi, ASN hanya PNS dan PPPK. Tidak ada PPPK Paruh Waktu. Maka kebijakan ini merupakan terobosan nasional untuk memberi solusi bagi tenaga honorer yang sudah tidak memungkinkan diangkat sebagai ASN penuh,” jelasnya, Rabu (24/12/2025).

Terkait penghasilan, Sukowinarno mengacu pada Surat MenPAN-RB Nomor 16 Tahun 2024, yang menegaskan bahwa gaji PPPK Paruh Waktu tidak boleh lebih rendah dari penghasilan yang diterima sebelumnya. Namun, besarannya tetap disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah.

Standar minimal nasional sekitar Rp350.000. Itu batas bawah. Bisa meningkat, tetapi sangat tergantung kemampuan fiskal daerah,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan menetapkan besaran gaji secara sepihak, terlebih di tengah kondisi transfer dana pusat ke daerah yang mengalami penurunan.

Sukowinarno juga menyinggung soal peserta yang tidak lolos seleksi PPPK sebelumnya. Berdasarkan Surat MenPAN-RB Nomor 347, 348, dan 349, peserta tersebut dapat dipertimbangkan menjadi PPPK Paruh Waktu, namun sifatnya tidak wajib.

Kata ‘dapat dipertimbangkan’ itu tidak mengikat. Jadi kalau daerah tidak mengangkat, secara aturan tidak melanggar,” tegasnya.

Menjawab keluhan guru dengan masa pengabdian panjang yang kalah bersaing dengan peserta yang lebih baru, ia menyebut persoalan tersebut berawal dari pendataan nasional, khususnya database tahun 2022, yang tidak sepenuhnya mengakomodasi seluruh tenaga honorer.

Seharusnya yang masa kerjanya panjang sudah masuk database waktu itu. Tapi karena berbagai kendala, banyak yang tidak terdata, dan dampaknya terasa sekarang,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa daerah hanya pelaksana kebijakan nasional, sementara seluruh mekanisme seleksi, sistem penilaian, dan kelulusan sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah pusat.

Dalam sistem seleksi itu tidak ada poin khusus masa kerja atau usia. Semua sudah ditetapkan pusat. Daerah memang tidak bisa berbuat banyak,” pungkasnya.

Sementara itu, para guru PPPK Paruh Waktu berharap pemerintah pusat dan daerah dapat mengevaluasi kembali kebijakan pengupahan, agar status yang telah diberikan sejalan dengan kesejahteraan yang lebih layak.(Dian)

Tinggalkan Balasan