Di Tengah Bencana, Rakyat Indonesia Adalah Jembatan yang Tak Patah

Spread the love

Bogor, [5 Des 2025] – Setiap kali bencana melanda, layar ponsel dan televisi kita dipenuhi dengan citra kehancuran: rumah yang hanyut, jalan yang tenggelam, dan wajah yang penuh kesedihan. Tapi di tengah kekacauan itu, selalu ada corak lain yang muncul – garis-garis manusia yang saling menopang, tangan yang menggenggam erat, dan hati yang terbuka lebih lebar daripada batas wilayah bencana. Ini bukan kisah seorang pahlawan tunggal, melainkan kisah seluruh masyarakat Indonesia yang menjadi tulang punggung penanggulangan bencana – dari lembaga keumatan berbagai agama, gereja, yayasan kristen dan budha, komunitas Tionghoa, ormas, sampai kelompok masyarakat yang bekerja bahu membahu dan sudah langsung bergerak turun ke lokasi bencana.

Data BNPB mencatat Indonesia mengalami lebih dari 3.000 bencana per tahun – angka yang membuat bencana seolah menjadi bagian dari ritme hidup. Tanah longsor di Sumatera, banjir di Jawa, kebakaran hutan di Kalimantan – pola yang terulang, tapi respon masyarakat yang selalu memberikan nuansa baru. Ketika Sibolga baru-baru ini terdampak bencana, bukan hanya satu atau dua sosok yang muncul, melainkan gerakan besar yang menyebar dari kota ke desa dan langsung turun ke lapangan: berbagai jemaat gereja yang mengeluarkan himbauan dan mengirim tim relawan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sibolga yang membangun pos bantuan sehari setelah bencana, Perhimpunan Umat Buddha Indonesia (Walubi) yang mengirimkan beras dan sembako, Majelis Pandita Hindu Indonesia (PHDI) yang mendirikan pos pengobatan tradisional, serta Ormas Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang membangun tempat penampungan sementara sebelum bantuan resmi tiba. Juga tidak ketinggalan Yayasan Kristen Peduli Kasih (YKPK) yang membawa tim medis dan perlengkapan kesehatan, Yayasan Buddha Metta yang membangun pos makan untuk korban, dan Komunitas Tionghoa Sibolga yang mengirim truk bantuan berisi pakaian dan selimut sejak hari pertama bencana.

Di sinilah keajaiban masyarakat kita terlihat: tidak perlu panggilan resmi yang panjang, tidak perlu protokol yang rumit. Lembaga keumatan berbagai agama, gereja, yayasan kristen dan budha, komunitas Tionghoa, ormas, dan kelompok masyarakat hanya melihat kesulitan, lalu langsung bergerak turun ke lokasi dan bekerja bahu membahu. Seorang pedagang di pasar yang menyisihkan hasil jualannya dan ikut mengangkut bantuan ke lokasi, seorang mahasiswa yang mengorganisir aksi kumpul bantuan di kampus lalu turun ke lapangan bersama ormas mahasiswa, seorang pengemudi ojek yang menawarkan layanan gratis untuk mengantarkan relawan yayasan kristen ke daerah terpencil – ini adalah sosok-sosok yang bersama-sama membentuk tulang punggung perjuangan melawan bencana.

Revolusi digital telah memperkuat jaringan solidaritas ini, menjadikan kerja sama antar lembaga dan kelompok lebih cepat dan efektif – bahkan sebelum mereka turun ke lokasi. Platform seperti Kitabisa mencatat bahwa 70% donatur untuk bencana adalah anak muda berusia 18-35 tahun – generasi yang bekerja bersama dengan lembaga keumatan berbagai agama, ormas, yayasan, dan komunitas Tionghoa untuk menciptakan saluran transparan dan langsung bergerak ke lapangan. Mereka tidak menunggu konferensi pers pejabat, melainkan langsung berkoordinasi dengan Gereja Katolik Sibolga yang menyediakan tempat penampungan di lokasi, Ormas Muhammadiyah Pemuda yang mengendarai truk bantuan ke daerah sulit dijangkau sejak hari kedua, Yayasan Kristen Harapan Kasih yang menangani pembersihan lokasi terdampak, Yayasan Buddha Karuna yang memberikan pengobatan alternatif, dan kelompok warga RT/RW yang memetakan kebutuhan korban secara rinci dengan berjalan kaki keliling lokasi terdampak. Bahkan Komunitas Konghucu Tionghoa Sibolga juga turut berpartisipasi dengan menyediakan makanan khas dan minuman untuk relawan serta korban.

Di Sibolga, misalnya, tidak hanya satu akun sosial yang membagikan kondisi korban, tetapi puluhan bahkan ratusan akun yang bekerja bersama dari dalam lokasi bencana: berbagai jemaat gereja yang mengabarkan situasi secara real-time, MUI yang mengelola pengumpulan dana dan langsung membagikan makanan hangat, Walubi dan Yayasan Buddha Metta yang bekerja sama membagikan sembako, Yayasan Kristen Peduli Kasih yang menangani korban luka, Komunitas Tionghoa Sibolga yang membagikan pakaian hangat, ormas PKK yang membuat makanan di pos bantuan sementara di lokasi, dan kelompok seniman lokal yang mengadakan konser amal di dekat tempat penampungan – semua tanpa kepemimpinan terpusat, tapi dengan tujuan yang sama: meringankan beban saudara. Ini adalah bentuk demokrasi yang sesungguhnya – kekuatan rakyat yang bekerja bersama melalui berbagai lembaga, agama, dan komunitas di tengah kegelapan bencana tanpa ada hierarki yang membatasi.

Tidak bisa kita pungkiri, di balik keajaiban solidaritas ini tersembunyi realitas yang pahit: seringkali masyarakat – bersama lembaga keumatan berbagai agama, gereja, yayasan kristen dan budha, komunitas Tionghoa, ormas, dan kelompoknya – menjadi garda pertama yang langsung turun ke lokasi karena respon institusi masih terlalu lambat. Bantuan yang tertahan di gudang, koordinasi antarinstansi yang kacau, dan fokus pada seremonial daripada aksi – ini adalah masalah yang terus berulang. Ketika berbagai lembaga masyarakat, yayasan, dan komunitas menetapkan batas waktu pengumpulan dana hingga 8 Desember 2025, itu bukan hanya karena kecepatan yang dibutuhkan, tapi juga karena kesadaran bersama dengan MUI, Walubi, PHDI, dan kelompok warga yang sudah di lapangan bahwa setiap hari tertunda berarti penderitaan yang bertambah.

Namun, ini bukan alasan untuk mengkritik semata. Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk mempertanyakan: mengapa sistem yang seharusnya melindungi justru tertinggal, padahal lembaga masyarakat, yayasan, dan komunitas sudah bekerja keras di tengah lokasi bencana sendiri? Masyarakat yang aktif – bersama lembaganya yang turun ke lapangan – bukanlah bukti kegagalan rakyat, melainkan cerminan bahwa sistem kita perlu diperbaiki agar bisa bekerja sama dengan lebih baik.

Kisah masyarakat Indonesia di tengah bencana adalah bukti bahwa kita memiliki kekuatan yang tak tergantikan: hati yang saling peduli yang terwujud dalam kerja sama antar lembaga di lokasi bencana. Bukan tentang mengkultuskan seorang individu, tapi tentang bagaimana ribuan individu di dalam gereja, lembaga keumatan berbagai agama, yayasan kristen dan budha, komunitas Tionghoa, ormas, dan kelompok masyarakat berkumpul di tengah kehancuran menjadi kekuatan yang luar biasa. Berbagai jemaat gereja yang mengajak anggotanya untuk berbagi dan langsung mendistribusikan bantuan, MUI dan Walubi yang bekerja sama membagikan sembako, PHDI yang memberikan pengobatan tradisional, yayasan kristen yang menangani kesehatan, komunitas Tionghoa yang membagikan pakaian, PKK yang membuat makanan di lapangan, kelompok warga yang memetakan kebutuhan dengan berjalan kaki – semuanya adalah bagian dari jaringan solidaritas yang tak terputus.

Ini juga menjadi pengingat bahwa bangsa yang kuat bukan hanya yang memiliki infrastruktur canggih atau ekonomi yang besar, tapi yang memiliki masyarakat yang saling menopang melalui berbagai lembaga, agama, dan komunitas di saat yang paling diperlukan di lapangan. Di saat bencana mencoba memecah belah kita, justru kerja sama antar agama, yayasan, dan komunitas Tionghoa di tengah lokasi yang menjadi pengikat yang lebih kuat. Kita tidak hanya membantu korban, tapi juga membangun kepercayaan antar lembaga dan masyarakat – modal berharga yang tak ternilai.

Solidaritas di tengah bencana adalah hal yang luar biasa, tapi kita tidak boleh berhenti di situ. Kita perlu bergerak dari tanggapan darurat di lapangan ke upaya pencegahan jangka panjang, dengan lembaga keumatan berbagai agama, gereja, yayasan kristen dan budha, komunitas Tionghoa, ormas, dan kelompok masyarakat tetap menjadi bagian pentingnya. Masyarakat yang aktif harus juga terlibat dalam diskusi tentang kebijakan bencana, perencanaan tata ruang yang aman, dan pendidikan tentang keselamatan – bukan hanya di ruang rapat, tapi juga dengan berbagi pengalaman dari lapangan bersama lembaga pemerintah. Begitu juga, pemerintah harus mendengarkan suara rakyat melalui lembaganya yang sudah turun ke lokasi, mempercepat respon, dan membuat sistem yang lebih transparan dan efektif.

Indonesia adalah negeri yang sering disentuh bencana, tapi juga negeri yang memiliki rakyat yang tak pernah menyerah – bekerja bersama melalui berbagai lembaga, agama, dan komunitas di tengah lokasi bencana. Setiap tindakan kecil yang kita lakukan – baik memberi bantuan langsung, berkoordinasi antar lembaga di lapangan, atau hanya berdoa – adalah bagian dari cerita keberhasilan kita melawan bencana. Ini adalah kisah kita, semua orang, yang membuktikan bahwa di tengah kegelapan, cahaya solidaritas yang terjalin bahu membahu di tempat kejadian akan selalu menyala.

Oleh Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas) Jurnalis Senior Pewarna Indonesia

Tinggalkan Balasan