Ditulis oleh Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas) — Jurnalis Senior Pewarna Indonesia
Bogor,15 Desember 2025 Bayangkan ini: Jam 23.00, baterai laptop hampir habis, dan kamu sedang berjuang untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk menyampaikan rasa sakit keluarga yang terkena bencana. Pikiranmu penuh dengan pertanyaan: “Apakah tulisan ini benar-benar berguna?” — itu adalah momen yang akrab bagi setiap jurnalis. Jurnalisme bukan hanya tentang menulis berita — itu perjalanan yang mempertaruhkan hati dan pikiran, di mana suka dan duka berjalan berdampingan. Dan bagi jurnalis yang beragama Kristen, semua itu berkiblat pada satu titik: KRISTUS sebagai Sang Kepala Pewarta — yang menjadi contoh paling sempurna dalam menyampaikan kebenaran dengan kasih, bahkan ketika menghadapi penolakan dan penderitaan.
Kebahagiaan seorang jurnalis tidak datang dari pujian di media sosial atau nama yang terkenal. Ia muncul pada saat seorang pembaca mengirim pesan: “Artikelmu membuat saya ingin membantu keluarga yang terkena banjir” — atau ketika seorang korban yang dulu tak punya suara akhirnya merasa didengar. Itu adalah kebahagiaan yang tulus, yang berasal dari kesadaran bahwa kita bukan hanya pencatat fakta, tapi jembatan antara kenyataan dan harapan — mengikuti jejak Kristus yang selalu memberikan suara kepada yang terpinggirkan dan menyampaikan berita baik tentang kerajaan Allah.
Ingat saat artikelmu tentang kekerasan terhadap anak membuat masyarakat bangkit untuk menuntut keadilan? Itu bukan hanya keberhasilan profesional — itu bukti bahwa kata-kata bisa menjadi senjata melawan kejahatan. Seperti yang dikatakan dalam pribahasa Jawa: “Bener iku candra, ora bisa ditutupi awan” (Kebenaran seperti bulan, tidak bisa ditutupi awan) — dan ayat Alkitab menyatakan: “Kamu akan mengenal kebenaran, dan kebenaran akan membebaskan kamu” (Yohanes 8:32). Kebenaran yang disampaikan dengan mengikuti Kristus Sang Pewarta akan selalu muncul dan memberi cahaya — itu adalah suka yang tidak bisa dibeli dengan apapun.
Semua ini juga selaras dengan tugas kita sesuai Kode Etik PWI pasal 5 (pemberitaan yang beriman, adil, dan cermat) dan UU Pers No. 40 Tahun 1999 pasal 3 ayat (1) (fungsi pers sebagai media kontrol sosial). Bahkan ketika dompet kita kosong, dampak positif yang kita berikan membuat pelayanan itu berharga.
Tapi di balik setiap momen suka, ada duka yang tak terhindarkan — dan salah satu yang paling menyakitkan adalah kondisi ekonomi yang jauh dari sejahtera. Banyak jurnalis lokal bekerja jam ekstra, meliput kejadian di tempat jauh tanpa biaya yang cukup, bahkan menggunakan ponsel pribadi untuk pekerjaan. Gaji tertunda, tunjangan minim — ini membuat kita tertekan, sulit untuk fokus atau menolak tekanan untuk menyesuaikan berita.
Selain itu, ada perlakuan buruk dari oknum yang tidak ingin kebenaran terungkap: ancaman fisik, pelecehan, penahanan informasi, atau tekanan dari pihak kuat. Kadang kita merasa terjebak, bertanya-tanya: “Mengapa harus berjuang kalau hanya membuat diri sendiri menderita?”
Pada saat seperti itu, kita ingat: Kristus sebagai Sang Kepala Pewarta juga menghadapi hal yang sama — penolakan, pelecehan, dan kesulitan untuk menyampaikan kebenaran. Ayat “Jangan takut, sebab aku menyertai engkau; janganlah khawatir, sebab aku adalah Tuhanmu” (Yesaya 41:10) menjadi pelipur lara, dan pribahasa Jawa: “Sedulur sepah, sedulur sepenghuni lara” (Kawan sejalan, kawan yang menemani dalam kesusahan) mengingatkan kita bahwa kita tidak sendirian — terutama dengan Kristus di sisi.
Penting untuk tahu bahwa perlakuan buruk ini bertentangan dengan hukum: UU Pers pasal 18 ayat (1) menghukum yang menghambat pers dengan penjara hingga 2 tahun atau denda 500 juta rupiah, dan Peraturan Dewan Pers No. 5 Tahun 2008 melindungi jurnalis dari kekerasan dan tekanan. Kode Etik PWI pasal 3 juga melindungi kita yang menulis kebenaran dengan tanggung jawab.
Duka ini bukan tanda kelemahan, melainkan bukti bahwa kita benar-benar sedang melakukan pekerjaan yang benar. Seperti ayat “Penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan datang” (Roma 8:18) dan pribahasa “Lara iki wis narimo, slamet iki bakal tekan” (Kesedihan ini sudah diterima, keselamatan akan tiba) — semua pengorbanan ini sementara, dan harapan akan selalu mengikuti duka.
Suka dan duka tidak saling meniadakan — mereka saling melengkapi. Tanpa duka, suka tidak akan terasa sebesar itu. Tanpa suka, duka akan menjadi beban yang terlalu berat. Semua ini berputar di sekitar satu pusat: Kristus sebagai Sang Kepala Pewarta, yang menjadi sumber kekuatan, penghiburan, dan pedoman dalam setiap momen.
Seorang jurnalis yang benar-benar menjalani pelayanannya akan selalu berada di persimpangan ini — merasakan kesedihan ketika melihat kesusahan, tapi juga kebahagiaan ketika melihat perubahan. Ketika oknum akhirnya diadili, ketika masyarakat bangkit untuk keadilan, atau ketika pembaca mengatakan artikelmu mengubah kehidupannya — itu adalah momen yang membuat semua kesulitan terasa berharga.
Seperti yang saya alami sendiri: ketika menerima pesan ancaman setelah menulis tentang korupsi dan sekaligus menghadapi gaji tertunda, itu adalah duka yang mendorong saya berdoa pada Kristus. Tapi saya tahu saya tidak sendirian — hukum dan etika berdiri di sisi saya, dan dampak pekerjaannya membuat semua itu berharga. Kesejahteraan yang sesungguhnya bukan hanya tentang uang, tapi tentang makna pelayanan yang mengikuti jejak Sang Pewarta.
Suka duka sebagai jurnalis adalah cerminan dari kehidupan itu sendiri: penuh dengan tantangan, tapi juga penuh dengan harapan. Dan bagi jurnalis Kristen, perjuangan kita berkiblat pada Kristus Sang Kepala Pewarta — yang menjadi contoh sempurna dalam menyampaikan kebenaran dengan kasih.
Dengan menjalankan pekerjaan sesuai hukum, etika, dan keyakinan kita, kita bisa menjadi jurnalis yang tidak hanya profesional, tapi juga penuh kasih dan bertanggung jawab — saluran kebenaran dan harapan bagi orang-orang yang kita temui. Ayat “Aku mengetahui rancangan damai sejahtera untukmu, untuk memberikan hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11) menjadi janji, dan pribahasa “Rancangan Gusti, ora bisa dilawan” (Rencana Tuhan, tidak bisa dilawan) menegaskan bahwa setiap upaya kita berada dalam rencana yang lebih besar.
Karena pada akhirnya, pelayanan kita sebagai jurnalis bukan hanya tentang menulis berita — itu tentang menegakkan kebenaran dengan cara yang benar, bahkan ketika ekonomi mempersulit, dan menjadi bagian dari perubahan yang lebih baik bagi bangsa. Semua itu, dengan mengikuti jejak Sang Pewarta yang pertama.
(***)


