Di Antara Kaca Mata dan Hati: Menanam Etos Kerja Jurnalis Sebagai Panggilan dan Tanggung Jawab

Spread the love

Bogor,16 Desember 2025 Bayangkan dirimu berdiri di persimpangan dunia yang bergerak cepat: di satu sisi, deru informasi yang tak berhenti memaksa untuk cepat dan banyak; di sisi lain, senja yang tenang yang mengingatkan akan kebenaran yang abadi. Sebagai jurnalis, kamu bukan hanya “pembawa berita” — kamu adalah jembatan antara fakta dan pemahaman, antara kekacauan dan kejelasan. Dan di dasar semua itu, etos kerja yang kuat bukan hanya aturan buku — ia adalah filosofi hidup yang disemai dari Firman Tuhan (Alkitab), dijiwai oleh peraturan profesional yang adil, dan juga sesuai dengan kebijaksanaan pribahasa Jawa yang kaya.

1. Keakuratan: “Jangan Katakan Yang Tidak Benar, Sebab Kebenaran Adalah Cahaya”

Firman yang jelas mengingatkan kita tentang pentingnya kebenaran:

“Janganlah kamu bersekongkol untuk berbicara yang tidak benar, janganlah kamu berselisih-selisih untuk membicarakan yang dusta” (Mazmur 50:19).

Tidak ada yang “keren” lebih dari keberanian berdiri di atas kebenaran, bahkan ketika dunia memaksa untuk cepat dan sembrono. Setiap kata yang kamu tulis atau sampaikan adalah cahaya yang kamu berikan kepada publik — salah satu titik, dan cahaya itu menjadi kabut.

Ini sesuai dengan pribahasa Jawa: “Basa wedih, basa wedi” — kata yang salah akan menimbulkan takut atau masalah. Dari sisi peraturan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) Pasal 1 menyatakan bahwa wartawan harus bersikap akurat dan berimbang saat menulis berita. Sedangkan Kode Etik Jurnalisme Indonesia (KEJI) — yang merupakan pedoman etis resmi bagi para jurnalis di Indonesia — Pasal 1 dan 3 juga menekankan kebutuhan untuk memeriksa informasi secara berulang dan memastikan kebenaran sebelum memublikasikannya. Selain itu, Peraturan Dewan Pers No. 1/Peraturan-DP/I/2025 tentang Pedoman Penggunaan Kecerdasan Buatan (AI) dalam Karya Jurnalistik juga mengatur bahwa setiap informasi yang dihasilkan AI wajib melewati proses verifikasi dan pengecekan fakta agar tidak menyesatkan publik. Ini adalah filosofi: keakuratan bukan hanya tugas, tapi ibadah kepada kebenaran yang diajarkan dalam Yohanes 8:32: “Dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran akan membebaskan kamu”.

2. Objektifitas: “Lihat dengan Matamu Sendiri, Jangan Biarkan Hatimu Menipu”

Ada kalanya emosi kita bergairah — marah melihat ketidakadilan, sedih melihat penderitaan. Tapi Firman mengingatkan agar kita tidak terjebak emosi yang berlebihan:

“Janganlah kamu membuat keputusan dengan tergesa-gesa karena marah, karena marah orang banyak akan menimbulkan kesalahan” (Mazmur 76:10).

Sebagai jurnalis, kamu adalah pengamat yang bertanggung jawab: laporkan apa yang terjadi, bukan apa yang kamu ingin terjadi. UU Pers Pasal 3 ayat (1) menegaskan fungsi pers sebagai media kontrol sosial yang harus netral dan objektif. Sementara Kode Etik Jurnalisme Indonesia (KEJI) Pasal 3 menyatakan bahwa wartawan tidak boleh mencampurkan fakta dengan opini yang menghakimi dan harus menerapkan asas praduga tak bersalah. Dewan Pers juga secara tegas menekankan bahwa pers harus independen dan objektif, terutama dalam peliputan pemilu atau pilkada, dan tidak boleh berpihak pada salah satu paslon.

Pribahasa Jawa yang sesuai adalah “Ojo didhelikake, ojo didolake” — jangan sembunyikan (fakta) dan jangan sesatkan (dengan prasangka). Filosofinya berakar pada Mazmur 119:130: “Kata-katamu menyinari, menjelaskan jalan kepada orang yang buta” — artinya, fakta yang jelas (bukan prasangka) yang harus menjadi penuntun.

3. Kejujuran: “Jujur Adalah Mahkota, Dusta Adalah Jerat”

Kejujuran adalah pondasi yang tidak bisa digantikan, seperti yang diajarkan dalam:

“Orang yang jujur akan hidup tetap aman, tetapi orang yang berdusta akan terjebak dalam jeratnya sendiri” (Amsal 10:9).

Tidak ada “trik” atau “shortcut” yang bisa menggantikan kejujuran — karena ketika kamu berdusta, yang pertama kali kamu tipu adalah dirimu sendiri. Akui kesalahan ketika terjadi, perbaiki dengan cepat — itu bukan tanda kelemahan, tapi tanda keberanian yang sesungguhnya, sesuai dengan Yakobus 5:16: “Mengakuilah salahmu satu sama lain, dan doakanlah satu sama lain, supaya kamu sembuh”.

Ini sejalan dengan pribahasa Jawa: “Beneran iku seneng, bohong iku lara” — jujur memberi ketenangan, dusta memberi penderitaan. Dari sisi peraturan, Kode Etik Jurnalisme Indonesia (KEJI) Pasal 2 melarang plagiat, pemalsuan data, dan penyimpangan kutipan, sedangkan UU Pers Pasal 4 ayat (3) menjamin hak pers untuk mencari informasi dengan jujur dan transparan. Dewan Pers juga mengatur bahwa dalam penggunaan AI, media harus transparan dengan menyatakan jelas jika teknologi tersebut digunakan dalam pembuatan konten, agar kepercayaan audiens tetap terjaga. Filosofinya: kejujuran adalah wujud rasa hormat kepada Mazmur 15:2: “Orang yang berjalan dengan benar, berbicara dengan jujur, yang tidak memfitnah dengan lidahnya”.

4. Tanggung Jawab: “Kamu Adalah Pelindung yang Diberi Tugas, Jangan Biarkan Mereka Terluka”

Firman mengajarkan kita untuk melindungi yang lemah dan tertindas:

“Menjaga orang yang lemah, memelihara hak-hak orang yang tertindas” (Yesaya 1:17).

Sebagai jurnalis, kamu memiliki kekuatan — kekuatan untuk membuat orang terdengar, tapi juga kekuatan untuk menyakiti. Hindari melanggar privasi, terutama korban kejahatan atau bencana. Jangan jadikan penderitaan orang lain sebagai “materi berita” yang hanya untuk menarik perhatian.

UU Pers Pasal 5 menekankan perlunya pemberitaan yang ramah anak dan menghormati martabat manusia. Sementara Kode Etik Jurnalisme Indonesia (KEJI) Pasal 2 ayat (b) dan (f) juga melarang pelanggaran privasi dan menyuruh menghormati pengalaman traumatik narasumber. Dewan Pers juga mengingatkan perusahaan pers untuk wajib memberikan perlindungan hukum kepada wartawan dalam menjalankan tugas, serta memiliki mekanisme penanganan kekerasan terhadap jurnalis. Pribahasa Jawa yang cocok adalah “Ojo ngomong omong, ojo ngrusak tembang” — jangan berbicara sembarangan, jangan merusak yang indah (martabat orang). Ini selaras dengan Kejadian 1:27: “Dan Tuhan menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menciptakan mereka menurut gambar Tuhan; laki-laki dan perempuan Dia ciptakan” — setiap orang adalah ciptaan Tuhan yang berharga, dan tugasmu adalah melindungi martabat itu.

5. Kompentensi: “Latih Diri Mu Seperti Prajurit yang Siap Berperang”

Firman menyuruh kita untuk terus berkembang dan menjadi cerdas dalam pekerjaan kita:

“Jadilah orang yang cerdas dalam menangani urusanmu, dan bijak dalam berbicara” (Kisah Para Rasul 6:3).

Tidak ada yang “keren” lebih dari jurnalis yang menguasai bidangnya — yang tahu konteks, yang bisa menganalisis dengan cermat. Terus belajar, latih keterampilan, pantau perkembangan teknologi — sesuai dengan 1 Korintus 9:24: “Tahukah kamu bahwa mereka yang berlari dalam lari semuanya berlari, tetapi hanya satu yang memenangkan hadiah? Jadilah kamu seperti itu, supaya kamu menang”.

Kode Etik Jurnalisme Indonesia (KEJI) Pasal 2 menyatakan bahwa wartawan harus menempuh cara-cara profesional dalam menjalankan tugas. Selain itu, Peraturan Dewan Pers No. 1/Peraturan-DP/X/2018 tentang Standar Kompetensi Wartawan juga mengatur kemampuan dasar yang harus dimiliki wartawan di berbagai jenjang (muda, madya, utama), termasuk keterampilan mengumpulkan data, menyunting, dan melakukan liputan mendalam atau investigatif. Pribahasa Jawa yang sesuai adalah “Sinau terus-terusan, ngerti saben hari” — belajar tanpa henti, memahami setiap hari. Peraturan juga meminta jurnalis untuk terus meningkatkan kemampuan. Filosofinya: kompentensi adalah wujud rasa hormat kepada panggilanmu — kamu tidak boleh menyia-nyiakan anugerah yang diberikan Tuhan.

Di akhirnya, etos kerja jurnalis yang kuat adalah perpaduan antara panggilan spiritual (berdasarkan Alkitab), tanggung jawab profesional (berdasarkan UU Pers, Kode Etik Jurnalisme Indonesia/KEJI, dan peraturan Dewan Pers), dan kebijaksanaan lokal (terkandung dalam pribahasa Jawa). Kamu adalah orang yang berdiri di antara langit dan bumi — membawa kebenaran dari langit ke bumi, dan memastikan bahwa setiap kata yang kamu keluarkan adalah cahaya yang menerangi jalan masyarakat. Itu yang membuat pekerjaanmu benar-benar keren — bukan karena kamu terkenal, tapi karena kamu berdampak positif pada dunia yang kamu layani.

Ditulis oleh: Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas), Jurnalis Senior Pewarna Indonesia

Tinggalkan Balasan