Dewan Perwakilan Rakyat? Lebih Tepatnya, Dewan Perwakilan Kepentingan… Siapa Hayo? (Awas, Jangan Baper!)”

Spread the love

Bekasi – Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, tapi kok rakyatnya seringnya cuma bisa gigit jari, hiduplah sekelompok manusia super yang kita sebut “wakil rakyat”. Mereka ini, lho, yang kalau kampanye suaranya menggelegar bak petir di siang bolong, janji-janjinya semanis gulali, dan senyumnya secerah iklan pasta gigi. Tapi begitu sudah duduk manis di kursi empuk nan ber-AC, kok ya mendadak amnesia massal?

Gedung dewan, yang megahnya ngalahin mal di pusat kota, seharusnya jadi rumah aspirasi. Tapi kok, lebih sering terasa kayak arena sirkus politik? Di sana, para badut berdasi sibuk adu argumen yang entah ujung pangkalnya di mana, kadang malah ketahuan lagi asyik main game di tablet, atau paling parah, lagi “rapat paripurna rasa seminar ngantuk” alias tidur berjamaah! Rakyat? Ah, rakyat mah cuma penonton setia yang bayar tiket mahal (lewat pajak), tapi cuma disuguhi drama sinetron yang ceritanya itu-itu saja: janji manis, proyek mangkrak, dan drama saling tuding.

Kita ini, lho, sudah capek-capek teriak “Reformasi Dewan!” seolah-olah ini mantra sakti mandraguna. Tapi kok ya, reformasi itu cuma kayak ganti baju Lebaran? Modelnya baru, warnanya kinclong, tapi yang pakai ya orangnya itu-itu juga, dengan kebiasaan lama yang susah hilang. Dari “studi banding” ke luar negeri yang hasilnya cuma oleh-oleh tas branded, sampai “blusukan” dadakan yang lebih mirip sesi foto pre-wedding, semua demi “pencitraan” yang hakiki.

Lalu, di mana peran sang ketua? Oh, sang ketua! Beliau ini, lho, yang punya palu sakti mandraguna. Harusnya bisa jadi nahkoda kapal yang tangguh, mendamaikan yang ribut, mengarahkan yang nyasar. Tapi kok, seringnya beliau ini lebih mirip “tukang sulap”? Sekejap ada, sekejap hilang. Atau mungkin sedang sibuk ngopi-ngopi cantik di kafe mahal, sambil sesekali ngecek trending topik di Twitter, biar bisa ikut nimbrung dengan jargon-jargon kekinian. Rakyat? Ah, rakyat mah bisa nunggu. Toh, lima tahun lagi juga akan datang lagi, dengan janji-janji baru yang lebih manis, lebih menggugah selera, dan tentu saja, lebih palsu. “Urip iku sawang sinawang, Mula aja mung nyawang sing katon lahiriyah. Ning ojo lali, ojo nganti lali marang Gusti Kang Murbeng Dumadi.” (Hidup itu saling melihat, maka jangan hanya melihat apa yang tampak lahiriah. Tapi jangan lupa, jangan sampai lupa kepada Tuhan Yang Maha Mencipta).

Inilah ironi negeri kita, saudara-saudari sebangsa setanah air! Kita punya wakil, tapi kok aspirasi kita seringnya nyangkut di tenggorokan? Kita punya gedung mewah, tapi kok kesejahteraan rakyat tetap jauh panggang dari api? Kita bicara tentang reformasi, tapi perubahan yang nyata kok kayak hantu, ada tapi tak terlihat, atau jangan-jangan cuma “mitos urban”? “Hirup mah ulah loba teuing talak, tapi kudu loba tengah. Sabab talak mah tungtungna geura, tapi tengah mah tungtungna beres.” (Hidup itu jangan terlalu banyak talak [cerai], tapi harus banyak tengah [bermusyawarah]. Karena talak itu ujungnya ribut, tapi tengah itu ujungnya beres).

Mungkin sudah saatnya kita berhenti berharap pada para “wakil rakyat” ini. Mungkin sudah saatnya kita mulai mengkritisi, menuntut, dan bahkan, jika perlu, mengganti mereka dengan orang-orang yang benar-benar peduli pada nasib rakyat. Karena, kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Jangan sampai kita cuma bisa bilang, “Ya sudahlah, mau bagaimana lagi? Namanya juga Indonesia!”

P.S.: Ingat ya, pemilu itu bukan cuma nyoblos gambar yang paling ganteng atau paling cantik. Ini soal masa depan kita, lho! Jangan sampai kita cuma bisa ketawa miris sambil bilang, “Ya ampun, kok bisa ya?” setelah lima tahun berlalu!

Opini Bocah Ngangon (R_Kfs)

Tinggalkan Balasan