Jakarta – Ratusan buruh KSBSI menggelar aksi damai dan konferensi pers di depan Kedubes RRT pada Rabu (10/12/2025), membawa bukti tertulis dugaan pelanggaran ketenagakerjaan yang berlangsung bertahun-tahun, mulai dari ketimpangan upah hingga pemberangusan serikat.
Perwakilan diterima oleh Bagus, staf Maklumat Kedubes RRT, yang menerima laporan dan dokumen tuntutan. Muhammad Fathoni (Ketua FSBSI PT WHW AR dan korban PHK) serta Hendrik Hutagalung, SH (Sekjen KSBSI) menyampaikan kondisi pekerja secara langsung.
“Mogok yang direncanakan Juni 2025 dibatalkan demi kondusif, tapi justru kami dihukum skorsing. Kami tidak jadi mogok, tapi dihukum seperti pelaku kriminal,” ceritakan Fathoni.
Setelah dua perundingan bipartit gagal, buruh sampaikan pemberitahuan mogok 10–12 November 2025 dengan syarat hukum lengkap. Namun perusahaan menyatakan mogok tidak sah dan berikan ancaman PHK. Pada 10 November, perusahaan setuju empat tuntutan utama, tetapi membatalkannya sepihak keesokan harinya.
Fathoni juga sebut upah tidak adil: pekerja lama (9–11 tahun) mendapat Rp3,8 juta–Rp4 juta, hampir sama dengan pekerja baru yang digaji Rp3.398.000. “Perusahaan tidak transparan terhadap Struktur dan Skala Upah yang wajib sejak 2021. Ini melanggar HAM buruh,” tegasnya.
Ratusan pekerja juga mendapat panggilan Hearing dengan tuduhan melanggar PKB yang belum disahkan. “Kami pejuang nafkah, bukan perusuh. Tapi diperlakukan seperti musuh,” ujar Fathoni.
Hendrik Hutagalung menilai kasus ini sudah menjadi persoalan negara. Ia menyebut dugaan tenaga kerja asing tidak sesuai prosedur dan lemahnya pengawasan terhadap perusahaan PSN. “Ketika buruh disingkirkan, serikat dibungkam, dan aturan diabaikan, itu persoalan negara,” tegasnya.
KSBSI mendesak Pemerintah investigasi komprehensif, mediasi, menindak union busting, dan memastikan transparansi upah. Mereka juga minta polisi usut dugaan pelanggaran HAM. Aksi ditutup dengan penyerahan dokumen dan komitmen damai.
Jurnalis: Vicken Highlightlander | Editor: Romo Kefas


