Pelitakota.id Di tepi Danau Tiberias yang bergelombang lembut, kegelapan mulai menyelimuti dataran rumput yang hijau. Ribuan orang — lima ribu pria, ditambah wanita dan anak-anak yang tak terhitung — berdempet satu sama lain, matanya penuh harapan menatap sosok yang berdiri di tengah mereka: Yesus. Mereka telah mengikuti-Nya berjalan kaki seharian, meninggalkan desa-desa dan pekerjaan mereka, ditarik oleh pesan kebenaran dan mujizat penyembuhan yang tak terhindarkan. Tapi sekarang, hari telah habis, perut mereka kosong, dan tempat itu terpencil seperti pulau yang terasing dari dunia.
Murid-muridnya melihat situasi ini dengan perasaan cemas yang membanjiri hati. “Tempat ini sunyi, hari sudah malam — suruhlah mereka pulang beli makanan sendiri,” katanya kepada Yesus. Tapi jawaban-Nya membuat mereka terkejut: “Kamu berikan mereka makan!”
Dalam hati, murid-murid berbisik: “Bagaimana mungkin?” Mereka hanya punya uang sedikit — tidak cukup untuk membeli roti seharga dua ratus dinar, apalagi untuk memberi makan ribuan orang. Filipus, yang selalu praktis, berkata dengan jujur: “Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja.” Semua mata terarah ke Yesus, menunggu solusi dari Sang Guru yang selalu punya jawaban.
Lalu Andreas muncul, membawa berita yang tampak tidak berarti: “Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?”
Di sinilah inti teologi mujizat ini mulai terungkap: Tuhan tidak melihat ukuran “apa yang kita miliki”, melainkan kesediaan “apa yang kita berikan”.
Anak kecil itu berdiri di tengah kerumunan yang besar, tangannya memegang bekal makanannya yang sederhana — hasil dari kerja keras atau hadiah yang sedikit, sesuatu yang mungkin hanya cukup untuk dirinya sendiri. Tapi dia tidak ragu. Dia menyerahkan apa yang dia punya kepada Yesus, tanpa memikirkan apakah itu cukup atau tidak. Dalam kepolosan hatinya, dia memahami hal yang murid-murid masih belum pahami: bahwa kekuasaan Tuhan tidak terikat oleh batasan manusia.
Yesus mengambil lima roti dan dua ikan itu. Dia tidak langsung membelah atau membagikannya. Sebaliknya, Dia menengadah ke langit dan mengucap syukur. Ini adalah langkah teologis yang krusial: bersyukur adalah pintu menuju mujizat. Dengan mengucap syukur, Yesus menunjukkan bahwa segala sesuatu berasal dari Bapa, dan hanya melalui kerendahan hati menerima dan menyyukuri apa yang diberikan, kita bisa melihat kekuasaan-Nya bekerja.
Kemudian, Yesus memecah roti dan ikan itu. Dan yang tak terduga terjadi: makanan itu terus bertambah. Setiap potongan yang dibagikan, setiap gigitan yang dimakan, tidak membuat stok berkurang — sebaliknya, ada lebih banyak lagi. Semua orang makan sampai kenyang, tidak ada yang merasa kurang. Hati mereka dipenuhi bukan hanya dengan makanan, tapi dengan keheranan yang mendalam terhadap kekuasaan yang tak terjelaskan.
Setelah semua selesai, Yesus menyuruh: “Kumpulkanlah potongan-potongan yang lebih supaya tidak ada yang terbuang.” Murid-murid mengumpulkan sisa-sisanya, dan ternyata cukup untuk mengisi dua belas bakul penuh. Ini bukan sekadar detail kecil — ini adalah tanda teologis bahwa kekuasaan Tuhan tidak hanya cukup, melainkan melimpah. Dia tidak hanya memberi yang dibutuhkan, tapi memberi lebih dari yang kita harapkan, bahkan tanpa membuang apa pun.
Orang banyak melihat ini dan berkata: “Dia ini adalah benar-benar nabi yang akan datang ke dalam dunia.” Tapi mujizat ini lebih dari sekadar bukti kebenaran identitas Yesus — ini adalah gambaran dari kerajaan Tuhan yang datang: sebuah kerajaan di mana yang kecil menjadi besar, yang sedikit menjadi banyak, dan kerendahan hati menjadi pintu menuju kebesaran.
Kajian Teologis Singkat:
Mujizat 5 roti dan 2 ikan mengungkapkan tiga poin inti:
- Kekuasaan Tuhan melampaui batasan manusia: Apa yang mustahil bagi manusia adalah mungkin bagi Tuhan.
- Kesediaan berbagi dan kerendahan hati sebagai sarana: Tuhan memakai apa yang kita berikan, tidak peduli seberapa kecil, asalkan kita bersedia menyerahkannya.
- Kelimpahan kerajaan Tuhan: Tuhan tidak hanya memberi cukup, tapi melimpah, dan Dia menghargai setiap hal yang diberikan kepadanya (seperti terlihat dari perintah mengumpulkan sisa).


