Bedah Buku Kiai Sadrach: Sebuah Perjalanan Kekristenan Jawa

Spread the love

Sadrach: Injil, Budaya, Mardiko!”

Jakarta – Jumat, 21 Maret 2025, Kantor Majelis Umat Kristen Indonesia (MUKI) di Gedung Nyi Ageng Serang, Jakarta Selatan, menjadi tempat diskusi mendalam tentang warisan penginjilan kontekstual di Indonesia. Acara yang diinisiasi oleh Majelis Umat Kristen Indonesia (MUKI) bersama Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (PEWARNA) ini bedah buku “Kiai: Tinjauan Pelayanan Kontekstual Menurut 1 Korintus 9:20-23” karya Tri Budi Wibowo.

Kiai Sadrach dan Gerakan Mardiko
Dalam paparannya, Tri Budi Wibowo menjelaskan bahwa buku yang lahir dari tesisnya di Sekolah Tinggi Teologi Injili Indonesia (STTII) Jakarta ini bukan hanya sebuah produk akademik, tetapi juga refleksi teologis atas pelayanan gerejawi yang ia jalani di Gereja Kristen Mennonite.

Kiai Sadrach, tokoh utama dalam penelitian ini, dikenal sebagai penginjil yang membawa gerakan Mardiko, kemerdekaan, baik secara rohani maupun jasmani, bagi jemaatnya. Dalam konteksnya, gerakan ini menjadi bentuk perlawanan terhadap dominasi kolonial dan model penginjilan yang cenderung mengesampingkan budaya lokal.

Yusuf Mujiono dari PEWARNA menyoroti perjalanan napak tilas Rasul Jawa yang telah dilakukan, termasuk menelusuri jejak Kiai Sadrach. Ia membandingkan model penginjilan Sadrach dengan Nomensen di Tanah Batak. Jika Nomensen datang sebagai misionaris Jerman, maka Kiai Sadrach adalah putra asli Jawa yang menginjili dengan pendekatan budaya. Menggunakan simbol, seni, dan ornamen lokal agar Injil lebih diterima masyarakat Jawa.

“Ini adalah warisan yang harus kita lestarikan,” tegas Yusuf Mujiono.

Sekretaris Umum PGI, Pdt. Darwin, menambahkan bahwa metode penginjilan Kiai Sadrach yang berbasis debat dan “ngelmu” merupakan strategi yang relevan di zamannya. Namun, pendekatan ini ditentang oleh zending Belanda, yang menganggapnya sebagai bentuk sinkretisme.

“Kita harus belajar dari Sadrach, tetapi tidak boleh terjebak dalam mengerdilkan atau menyalahpahami gerakannya,” ujar Darwin.

Jasarmen Purba, Ketua Umum MUKI menegaskan bahwa kekristenan yang berbasis budaya adalah sesuatu yang penting dan perlu dipertahankan, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai iman Kristen. Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pendeta Indoneaia, Harsanto Adi, menggarisbawahi dampak kolonialisme Belanda yang lebih berorientasi pada kekuasaan dibandingkan penginjilan.

“Peluncuran buku ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan sejarah dan menjaga semangat penginjilan kontekstual,” ungkap Harsanto Adi.

Kehadiran buku ini dan diskusi seputar warisan Kiai Sadrach memberikan perspektif baru tentang bagaimana Injil dapat dikontekstualisasikan tanpa kehilangan esensinya. Di tengah tantangan zaman, penginjilan berbasis budaya bisa menjadi inspirasi bagi gereja masa kini untuk tetap relevan tanpa meninggalkan akar iman.

Setelah selesai paparan dari narasumber, diadakan sesi diskusi dan tanya jawab yang disambut sangat antusias peserta.

Kiai Sadrach telah menunjukkan bahwa Injil bisa berakar kuat dalam budaya lokal tanpa kehilangan kuasanya.

Kini, tantangannya adalah bagaimana gereja masa kini mampu meneladani semangatnya—menjaga Injil tetap hidup di tengah keberagaman budaya Indonesia.APM

Tinggalkan Balasan