*Adv.Agradipura Parnagogo, S.H Menilai : Tantangan APH Dalam Era Digital Regulasinya Saat Ini Ketinggalan Teknologi!*
Jakarta – Perkembangan teknologi finansial serta kecerdasan buatan (AI) juga transaksi digital telah menciptakan pola baru dalam aktivitas ekonomi dan sosial, namun untuk diketahui hukum nasional belum sepenuhnya siap menghadapi implikasi hukumnya, terutama dalam konteks tanggung jawab pidana digital, perlindungan data pribadi dan pencucian uang yang berbasis teknologi” Ujar Advokat Agra.SH.
Dalam paparannya Advokat muda” Agradipura Parnagogo, S.H, akrab disapa’ Agra mengatakan saat ini banyak celah (legal loophole) muncul karena regulasi bersifat reaktif, bukan antisipatif dimana dampaknya penegakan hukum sering tertinggal di belakang inovasi teknologi, Indonesia adalah negara hukum namun menilai dari isu hukum, faktor utamanya yaitu Ketiadaan standar hukum yang jelas terkait penggunaan’ AI dan data digital lainya belum ada kerangka hukum komprehensif yang mengatur tanggung jawab pengembang, pengguna dan entitas korporasi atas keputusan otomatis” AI-driven decisions” Ucapnya.
Sebagaimana diketahui” Meningkatnya risiko kejahatan siber dan pencucian uang digital juga yang terjadi dan sepertinya ada modus baru crypto laundering, layering, dan penggunaan fintech peer-to-peer, menurutnya menjadi tantangan besar bagi aparat penegak hukum saat ini, Agra menambahkan terkait masalah yurisdiksi lintas negara transaksi digital sulit dilacak batasnya pelaku yang terjadi bisa saja berada di luar negeri namun akibat dampak hukumnya bisa dirasakan di Indonesia.

Lebih lanjut Advokat Agradipura Parnagogo, S.H yang merupakan putra dari Advokat senior Jalintar Simbolon.SH, menilai adanya keterbatasan dan kapasitas dari penegak hukum dimana APH,dimana belum sepenuhnya menguasai aspek teknis digital forensik dan penelusuran aset berbasis blockchain, sementara analisis dan opini hukum dari sudut pandangnya praktisi perlu hadir dengan paradigma baru dalam hukum pidana digital dimana penegakan hukum tidak bisa hanya berorientasi pada delik konvensional saja juga harus ada perluasan dimana asas pertanggung jawaban terhadap entitas digital dan algoritma yang menimbulkan kerugian hukum” Imbuhnya.
Menurutnya UU dan regulasi sektoral harus disusun secara adaptif dan fleksibel juga terhadap model regulasi berbasis prinsip (principle-based regulation) perlu diadopsi agar dapat menyesuaikan dengan perubahan teknologi tanpa harus merevisi undang-undang secara merata dan terus-menerus, kolaborasi lintas lembaga dan internasional menjadi kunci penegakan hukum digital tidak bisa dilakukan secara nasional semata dimana perlu kerja sama lintas yurisdiksi dengan negara lain serta lembaga internasional seperti Interpol dan FATF.
Dalam pendapatnya Agra menambahkan kapasitas aparat penegak hukum saat ini’ Ia menilai ke depannya harus ada investasi besar pada pelatihan digital forensik, audit siber, dan analisis transaksi keuangan yang berbasis teknologi demi menguatkan mekanisme akuntabilitas korporasi digital dan korporasi yang beroperasi di ruang digital fintech, platform, AI services dan dalam pendapatnya harus dikenai kewajiban serta kepatuhan hukum yang lebih tegas, termasuk sanksi administratif dan pidana korporasi.
Perlu untuk diketahui percepatan teknologi tanpa percepatan hukum berpotensi akan menciptakan digital impunity, dampak kekebalan baru bagi pelaku kejahatan di ruang maya, oleh karena itu Negara harus hadir dengan sistem hukum yang responsif, adaptif, dan berbasis kompetensi teknis, bukan sekadar represif, dimana penegakan hukum era digital harus menjadi echo system reform, bukan hanya case-by-case enforcement” Tutupnya.
Gunawan AWDI


