GILALANG, HALMAHERA SELATAN – Kasus yang melibatkan Ati Din, seorang guru di SD Negeri 246 Gilalang, Kecamatan Bacan Barat Utara, Halmahera Selatan, telah memicu gelombang kemarahan dan kekecewaan di kalangan masyarakat. Bukan hanya soal dugaan penguasaan rumah dinas sekolah dan ketidakhadiran dalam mengajar, tetapi yang lebih mencoreng adalah praktik intimidasi yang diduga dilakukan terhadap wartawan Warta Global.
“Me ibu Ati memang kaya bagitu, suka arogan,” ungkap seorang warga Gilalang yang enggan disebutkan namanya. “Kejadian di Gilalang itu sudah berjalan bertahun-tahun. Dia pertahankan bahwa dia yang bangun dapur rumah dinas, kong tara mau orang lain masuk. Seolah-olah dijadikan dia pe pribadi.”
Pernyataan ini mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap sosok yang seharusnya menjadi panutan. Bagaimana mungkin seorang guru, yang seharusnya menjunjung tinggi etika dan moral, justru terlibat dalam tindakan yang meresahkan?
Warga lain dengan tegas mengecam tindakan Ati Din. “Ko bisa eee ibu Ati piara preman? Sangat disayangkan, tindakan yang diambil ibu Ati bukan langkah bijak. Guru harusnya jadi contoh, bukan malah menebar ancaman,” ujarnya dengan nada geram.
Kasus ini mencuat setelah media mengangkat dugaan penyalahgunaan rumah dinas oleh Ati Din. Namun, alih-alih memberikan klarifikasi yang santun dan resmi, wartawan yang mencoba melakukan konfirmasi justru menghadapi tekanan berupa ancaman. Bahkan, nama aparat kepolisian disebut-sebut untuk menambah tekanan.
“Setelah kami rilis berita, cara mengonfirmasi justru dengan ancaman, bahkan membawa-bawa Polres. Tapi kami tanggapi santai, karena memang beliau tidak paham karya jurnalistik,” ungkap salah seorang wartawan Warta Global. “Yang pasti kami selalu melakukan konfirmasi, dan terkesan ini ada dendam pribadi.”
Praktik intimidasi terhadap wartawan seperti ini jelas merupakan serangan terhadap kebebasan pers dan hak publik untuk mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas melindungi wartawan dalam melaksanakan tugasnya. Pasal 18 ayat (1) bahkan mengatur ancaman pidana terhadap pihak yang menghambat kerja jurnalis.
Namun, pertanyaan besar muncul: mengapa tindakan intimidasi seperti ini masih terjadi? Apakah ada kekuatan yang lebih besar yang melindungi pelaku? Atau apakah aparat penegak hukum dan pemerintah daerah tutup mata terhadap praktik yang jelas-jelas melanggar hukum ini?
“Kalau ini dibiarkan, ini preseden buruk,” ujar seorang warga Gilalang dengan nada kecewa. “Guru harusnya menjadi teladan, bukan justru melawan kritik dengan ancaman. Dunia pendidikan bisa rusak, dan kebebasan pers juga ikut mati.”
Kini, bola panas ada di tangan aparat penegak hukum dan pemerintah daerah. Publik menanti tindakan nyata untuk membuktikan bahwa hukum benar-benar ditegakkan, tanpa pandang bulu. Jika kasus ini dibiarkan berlarut-larut, bukan hanya kebebasan pers yang terancam, tetapi juga kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan dan penegak hukum.
“Kalau aparat serius, kasus ini bisa segera diselesaikan. Tapi kalau tetap dibiarkan, masyarakat akan menilai ada pembiaran. Kami berharap hukum benar-benar ditegakkan,” tutup salah seorang warga Gilalang penuh harap.
Kasus Ati Din ini adalah cermin buram bagi dunia pendidikan dan penegakan hukum di Halmahera Selatan. Jika tidak ditangani dengan serius, bukan tidak mungkin praktik premanisme dan penyalahgunaan kekuasaan akan semakin merajalela, mengancam sendi-sendi demokrasi dan keadilan.
Sumber: GWI Tim